Bus Medan Jaya itu berhenti di persimpangan Kabun, sebuah persimpangan yang menjadi tempat pemberhentian bus antar provinsi. Kabun bukanlah sebuah kota, setidaknya itulah anggapan Bri, terlalu kecil dan sepi. Bahkan jika di bandingkan kampungnya Teluk Dalam, Kabun jauh lebih sunyi. Hanya saja nilai tambah daerah ini adalah kemakmuran penduduknya yang cukup terpenuhi, bisa dinilai dari bangunan rumah-rumah mereka yang berjajar jarang dipinggir jalan.
Bri melangkah turun dari bus, membawa ransel besar di punggung, serta beberapa plastik kresek di tangan kanan juga sebuah kardus di tangan kiri.
Hiruk pikuk suara penumpang yang turut turun dari bus membuat suasana sedikit ramai, apalagi setelah mereka berbaur dengan kerabat yang telah menunggu, percakapan dengan logat Minang pun terdengar di sana-sini. Walau Kabun masuk daerah Riau, namun mayoritas penduduknya adalah orang Minang, tak heran karena kabupaten Kampar berbatasan langsung dengan sumatera barat.
Bri mengedarkan pandangan, mencari sosok yang telah berjanji akan menjemputnya.
Kedua bola mata Bri cerah seketika, seulas senyumnya mengembang saat dari seberang jalan seorang pemuda tanggung berbaju biru gelap berlari kecil kearahanya, namanya Candro. Begitu sosok itu tiba satu pelukan kecil terjadi."Sudah lama menunggu Can?" tanya Febri.
"Lumayan bang, tapi gak secapek abang kan, kalau aku jadi abang, pasti udah mabok tuh 15 jam duduk di bus terus" jawab Candro, sambil mengambil alih beberapa barang bawaan Bri.
Mereka berdua melangkah menuju sebuah kedai sekaligus merangkap toko ponsel, satu-satunya toko ponsel di tempat itu. Dimana tempat Candro menunggu tadi.
Sesampai disana ternyata Candro tak sendiri, masih ada Ricky di sana. Bri dan Ricky saling berjabat tangan juga berpelukan kecil. Mereka bertiga adalah sahabat yang telah tiga tahun tak bertemu. Makanya untuk melepas kangen, Febri memutuskan menghabiskan libur kuliahnya untuk mengunjungi mereka, sekaligus menunggu panggilan wisudanya."Ngopi dulu yuk" ajak Bri, ketiganya duduk di kedai itu, Candro memesan kopi. Bri mengeluarkan sekotak bika ambon dari kantong plastik bawaannya. Menyuruh kedua sahabatnya untuk mencicipi.
"Loh kok dibuka di sini bang?" protes Candro.
"Lah tenang saja, masih ada satu kotak lagi kok" jawab Bri.Pesanan kopi datang dan kini mereka menikmati sarapan kecil itu sambil bertukar cerita.
"Kabun tidak berubah ya? Sudah tiga tahun tapi masih sepi juga" ucap Bri sambil memperhatikan sekelilingnya.
Bri ingat sesuatu segera dia mengecek ponselnya untuk menelpon seseorang, sialnya tidak ada sinyal.
"Sial, gak ada sinyalnya"
"Emngnya abang kartu apa?" tanya Ricky sambil menyeruput kopi.
"Smart****" jawab Bri.
"Kalau disini gak ada bang, tapi kalau telk****l baru kencang" jelas Ricky."Tuh kan belum berubah juga, masih si merah dan si biru doang yang punya jaringan disini" jawab Bri.
"Eh jangan salah bang, di Padasa udah 4G loh" sela Candro.
"Serius? Jadi gak perlu lagi kita keluar Padasa dan nongkrong di jalan sunyi cuma buat main game" ucap Bri.
"Ya, aku jadi ingat dulu kita main COC di tengah jalan sampai jam 3 pagi, nginep di jalan bahkan kencing dan berak juga dipinggir jalan" sela Candro.
Mereka tertawa bersama mengingat masa tiga tahun yang lalu.
"Cepat bang habiskan kopinya, perjalanan kita masih lanjut" Ricky mengingatkan.
Bri melirik gelas kopi kedua temannya yang memang sudah kosong juga kotak bika ambon yang sudah berkurang ¾ isinya."Waduh rakus amat" ucap Bri.
"Maklum lah, demi abang tercinta kami berangkat buat jemput abang jam 6 pagi, belum sempat sarapan" Candro menjawab sambil nyengir
"Makasih banyak my bro" jawab Bri yang bergegas meneguk kopinya sampai habis lalu membayarnya, tak lupa dia membeli kartu perdana si merah mengingat operator langgannan nya tidak punya nyawa di tempat ini.
Mereka berjalan mendekati dua sepeda motor honda bernama sama cuma beda warna. Motor milik Candro dan Ricky.
"Abang samaku aja, jangan mau dibonceng Candro, entar malah dijatuhkan" ucap Ricky sambil melepaskan ranselku dan menyerahkannya pada Candro. Candro menggerutu.
"Sial deh, jadi kuli barang doang aku" protes Candro, yang mau tak mau menerima ranselku dan kardus untuk dibwlawanya, sedangkan Bri membawa dua buah kantong plastik ukuran besar.
Ricky memberi kode agar Bri naik di motornya.
Candro sendiri sudah siap pula. Maka kejap kemudian ketiga nya melanjutkan perjalanan, melaju menyusuri jalanan aspal menerobos masuk menuju sebuah perkebunan kelapa sawit yang terletak jauh di sana, di antara bukit-bukit yang menjulang gagah.Rumah-rumah masih jarang, bahkan teramat jarang, hanya ada beberapa kebun karet milik warga, sepuluh menit kemudian jalanan datar berubah menjadi ekstrim, pohon-pohon karet berganti menjadi tanaman hutan disertai semak-semak liar. Seiring dengan jalanan yang menurun lalu menanjak di sertai dengan tikungan melengkung, barisan bukit terlihat menyembul, gagah, indah, dan hijau. Meski bukan untuk pertama kali melihatnya Bri tetap saja takjub dengan landscape yang disaksikannya, di kejauhan mata memandang terlihat deretan bukit barisan yang berbaris sepanjang barat Pulau Sumatera.
"Bang bri, plastik nya di pangku aja, biar abang bisa memegang pinggangku, jalanan menuntut kita untuk lebih hati-hati"
Bri menurut, dia letakkan ketiga bingkisan plastik berisi oleh-oleh itu di pangkuannya, Ricky membantunya dengan melambatkan laju motornya. Hal ini dimanfaatkan Candro untuk menyusul mereka, tuh anak langsung ngebut tanpa pikir panjang, Bri jadi ngeri sendiri.
"Tuh kan, untung abang sama ku, kalau gak, abang pasti dibawa ngebut sama dia"
"Benar juga, mudah-mudahan dia selamat" Bri sih tidak begitu khawatir, karena dia tau anak-anak Padasa sudah terbiasa dengan jalanan ekstrim.
"Udah bang? Pegang pinggangku ya" ucap Riki tegas.
Bri terkesiap sesaat, kata-kata 'pegang pinggangku' yang didengarnya tadi, membuat bayangan seseorang melintas di benak Bri, seorang remaja tampan, yang selalu menemaninya tiga tahun lalu, sosok yang sama-sama mendekam di Padasa. Hati Bri mendadak menyebut nama bayangan itu dengan kerinduan yang tiba-tiba menggumpal sesak.
"Eh malah melamun" ucap Ricky.
Bri tersadar segera dia meraih kedua sisi pinggang Ricky. Di depan sana sambil mengendalikan motor, Ricky tersenyum manis saat kedua tangan Bri menyentuh pinggangnya, hangat, itulah yang dirasakannya, pemuda ini ulurkan tangan kirinya untuk menyentuh telapak tangan Bri dipinggang sisi kirinya meminta Bri untuk menggenggam lebih erat lalu dengan lebih semangat pemuda tampan berkulit bersih ini melajukan motornya dengan penuh kewaspadaan. Kejap kemudian motor itu hilang, seiring tikungan menanjak di balik bukit yang terlihat angkuh tapi gagah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Terakhir (SELESAI)
RomanceWarning ! cerita ini bergenre GayRomance jadi buat yang homophobic silahkan menjauh! Sinopsis : Febri atau dipanggil Bri mencoba untuk mengulang semua kenangan yang dialaminya tiga tahun yang lalu di sebuah PT perkebunan kelapa sawit dengan cara men...