Bri beserta Pak Rafli menjadi guru pendamping dalam acara Porseni tingkat kabupaten, sudah ditentukan KEPSEK bahwa SMP mereka mengikuti olahraga voli, badminton, tenis meja, catur, dan athletik. Sedangkan untuk seni mereka ikut lomba pidato, puisi, menyanyi dan melukis.
Tim voli putra mereka mampu menjadi juara ke 3, sedangkan badminton gagal meraih satupun piala, tenis meja dan catur juga hanya meraih juara ke 3.
Lomba olahraga meraih yang diikuti tim sekolah mereka hanya bisa meraih 3 piala juara 3.Rafli mengeluh karena prestasi ini menurun dari tahun kemarin.
"Aduh bang, sekolah kita menurun prestasi olahraganya, tahun semalam kita dapat juara satu di catur, sayang siswa yang ikut tahun semalam sudah tamat" Ucap guru olahraga itu dengan kesal. Dia duduk di sebelah Bri.
"Itu sudah lumayan kok Raf, kalah menang itu biasa, perjuangan anak-anak tadi sudah bagus" Bri menghibur guru olahraga itu, sedangkan matanya mengawasi anak-anak didiknya yang tengah melihat teman mereka Rionando yang ikut lomba melukis.
Mereka melihat dari pinggir lapangan tanpa bersuara. Suasana begitu hening, tampak Rionando fokus mengguratkan kuasnya diatas kanvas, sedangkan wajah dan tangannya tampak bernoda titik-titik cat sedikit.
Bri sendiri harap-harap cemas, mengingat cabang seni juga belum ketahuan hasilnya.
"Semoga cabang seni nanti bisa sukses dan menutupi kekurangan di olahraga kita" Pak Rafli berkata sambil menepuk pundak Bri.
***Hari mulai senja, cabang seni sudah selesai diselenggarakan. Tibalah pengumuman yang dibacakan dewan juri. Hasilnya ternyata memuaskan.
Pidato bahasa indonesia berhasil meraih juara 3, dan bahasa inggris berhasil juara 1. Puisi meraih juara 2.
Kini giliran juri cabang melukis yang memberi pengumuman, juara 3 dan 2 ternyata diraih SMP lain. Juri sendiri menunjukkan hasil lukisan juara ke 3 dan ke 2 itu kepada penonton, penonton bertepuk tangan semua.Rionando memutuskan pergi meninggalkan ruang pengumuman, dia menjauh menuju tanah lapangan yang tengah kosong itu. Dia yakin lukisannya pasti kalah, dan dia tak mau mendengar hasil penilaian juri lagi. Pesimis.
Rionando justru menyumbat telinganya dengan headset.
Rionando merasa tanah yang dipijaknya bergetar halus, membuat dia mengedarkan pandangannya dan seseorang berlari menghampirinya lalu huppp sosok itu memeluknya erat. Bri telah memeluk anak itu, bahkan menggendongnya. Tak hanya itu, teman-temannya yang lain juga telah mengerumuninya bersorak meriah.Juri mengumumkan bahwa lukisan Rionando berhasil menjadi juara satu. Sebuah lukisan kumpulan anak-anak yang berenang dan bermain di tepi danau toba itu begitu hidup, perpaduan warna juga goresannya juga begitu natural dan selaras.
"Kau menang Rio, Sir bangga padamu" Bri memeluk anak itu sekali lagi lalu mencium kening anak itu.
Rionando merasakan bahagia yang teramat luar biasa, inilah pertama kali seumur hidup dia bisa merasakan pelukan dan ciuman sehangat ini. Sesuatu yang selama ini diimpikannya. Air matanya nyaris tumpah disana. Bahkan Bri masih menggendongnya menuju tempat penyerahan piala. Tentu saja pemandangan itu menarik perhatian orang-orang.
Rio dengan gugup dan tangan bergetar memegang tropi besar itu, dan air matanya pun tumpah.
***Esoknya Kepala Sekolah merayakan kesuksesan itu dengan upacara resmi, semua siswa yang telah berjuang di Porseni mendapatkan piagam penghargaan juga hadiah sebagai tanda terima kasih. Hari itu sekolah bebas dari kegiatan belajar, berganti dengan kegiatan pentas seni.
Siswa yang suka menari tampil menari begitu juga yang suka menyanyi.
"Sir Febri! Sir Febri!" entah siapa yang memulai tiba-tiba kerumunan murid terutama yang siswi menyerukan nama Febri, meminta guru Bahasa Inggris itu menyanyi.
Febri sendiri terpaksa memnuhi permintaan anak-anak didiknya itu, apalagi kepala sekolah dan rekan guru juga menggodanya menyurunya untuk menyanyi.
Bri dengan sedikit gugup berdiri di atas panggung dengan memegang gitar, setelah mengecek suara mulailah dia memetik gitarnya.
Resah dan gelisah
Menunggu di sini
Di sudut sekolah
Tempat yang kau janjikan
Ingin jumpa denganku
Walau mencuri waktu
Berdusta pada guruBri membuka lagunya, suara tepukan gemuruh dan teriakan histeris menyambut suara nyanyiannya, belasan bahkan puluhan kamera ponsel menyirot padanya.
Malu aku malu
Pada semut merah
Yang berbaris di dinding
Menatapku curiga
Seakan penuh tanya
"Sedang apa di sini?"Bri meneruskan lagunya
"Menanti pacar, " jawabku,
tiba-tiba semua orang menyambung menyanyikan penggalan lirik itu. Bri tertawa kecil melihat antusias semua orang, dan kembali menyanyi.
Sungguh aneh tapi nyata
Takkan terlupa
Kisah-kasih di sekolah
Dengan si dia
Tiada masa paling indah
Masa-masa di sekolah
Tiada kisah paling indah
Kisah-kasih di sekolahLagu itu dinyanyikan Bri dengan sukses dan menghibur, semuanya langsung memberikan tepukan tangan meriah begitu lagu berakhir.
Tiba-tiba Bri menyeletuk lewat microphone."Sir boleh request tidak?" tanya Bri.
"Boleh" teriak semua
"Sir mau lihat juara lukis kita, Rionando menyanyi, setuju?" teriak Bri lagi.
"Setuju!"
"Rio! Rio! Rio!" teriakan itu langsung menggema.Rio gugup seketika, ponsel yang digunakannya untuk merekam guru favoritnya menyanyi tadi segera disimpannya di saku. Dia ingin sekali menolak, namun rasanya berat, mengingat ini permintaan guru yang paling dihormati dan disayanginya. Mau tak mau dia akhirnya melangkah naik ke atas pentas seni sekolah.
Rio meminjam gitar Sir Febri, kebanyakan anak Batak memang bisa bermain gitar. Setelah menyetel dan mencari nada dasar mulailah dia menyanyi.
Dimana aku mencari
Aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyayiUntuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
MimpiLihatlah, hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyiUntuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata
Di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam
MimpiRio menyanyikan lagu berjudul ayah itu sebaik mungkin, suasana mendadak hening dan hanyut. Bri yang duduk di sebuah kursi dibelakang pentas merasakan kedua matanya panas, nyanyian Rio seorang anak tanpa ayah yang sering disebut anak haram itu terasa menusuk hatinya. Dalam hati Bri mulai menyesak pedih,
"Rio, kau anak hebat, andai saja ayahmu mendengar kau menyanyikan lagu ini, niscaya dia akan bangga dan beruntung memiliki anak sepertimu. Rio, maafkan Sir tidak bisa membantumu mewujudkan mimpimu itu"
Bri juga beberapa guru yang tau latar belakang Rio tampak matanya berkaca-kaca, bahkan mulai meneteskan air mata.
Rio selesai menyanyi, matanya memerah panas, dan akhirnya anak yang biasanya tegar itu keluarkan suara sesengguknya. Dia menuruni tangga pentas dengan menangis, Bri langsung menyambutnya dan memeluk anak itu sembari mengelus kepalanya.
"Rio, kuatkan hatimu nak. Ada Sir, dan guru-guru yang lain disini. Anggaplah kami orang tua sendiri. Insha Allah kami selalu siap membantu dan membimbingmu" Bri berkata seteduh mungkin untuk meredakan gejolak batin Rio. Anak itu pun semakin mengeratkan pelukannya pada guru kelasnya itu
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Terakhir (SELESAI)
RomanceWarning ! cerita ini bergenre GayRomance jadi buat yang homophobic silahkan menjauh! Sinopsis : Febri atau dipanggil Bri mencoba untuk mengulang semua kenangan yang dialaminya tiga tahun yang lalu di sebuah PT perkebunan kelapa sawit dengan cara men...