Ginan membuka matanya paksa. Detak jantungnya meningkat cepat. Dilihatnya sekitar, seorang petugas kebersihan membangunkannya yang tertidur di lantai gudang.
Ginan buru-buru keluar. Melirik jam tangannya, sudah pukul 4 sore. Berarti... Ia bolos?
Wah wah.
Ginan mempercepat langkahnya menuju kelas, hendak mengambil tas. Begitupun ia yang menemukan Kinan masih setia duduk di tempatnya, dengan kedua tangan meremas tas milik Ginan resah.
Agaknya gadis itu belum menyadari kehadiran Ginan di depan, sebab matanya terus menunduk memandangi jam di handphone nya.
Ginan menghela kasar. Mengepalkan tangan meredam emosi, lagi. Bersiap mendekat dan merampas tasnya begitu saja.
Kinan tersentak kaget, ikutan berdiri begitu sadar Ginan sudah berlalu pergi. Kinan dengan cepat mengekori. Berusaha menggapai lengan Ginan, setidaknya ia ingin mengatakan beberapa kata saja.
"Ginan". Panggil Kinan setelah berhasil menggapai lengan laki-laki itu.
Ginan diam. Memilih menepis tangan Kinan dari lengannya tanpa suara.
"Dengerin gue dulu". Kinan menarik nafas panjang, berusaha meminimalisir rasa gugupnya. "Sumpah, demi apapun gue gak pernah ngomong soal itu sama siapapun".
Ginan meliriknya dari sudut mata.
"Percaya sama gue, Ginan. Gue gak mungkin sebarin soal itu. Gak untungnya sama gue!".
"Terus?".
"Hah?".
"Terus kalau memang bukan Lo? Siapa? Manusia mana lagi yang tau kalau gue anak walikota?".
Kinan diam tak bisa menjawab. Pun gadis itu sontak menunduk dengan bibir gemetar, tidak tau jawaban.
"..gue gak tau...". Cicit Kinan melemah. Meremas rok sekolahnya.
Begitupun Ginan yang berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Kinan yang menatap kosong ke arah lantai, mengerjap beberapa kali.
Bingung.
Kinan bingung bagaimana caranya mengembalikan kepercayaan seseorang yang keras kepala seperti Ginan.
"Kinan!".
Yafi muncul dari arah berlawanan, segera menghampiri Kinan dengan nafas tersengal. "Ginan udah ketemu?". Tanya Yafi, berusaha mencari jawaban dari wajah Kinan yang menatap dengan binar sendu.
Tapi sepertinya Yafi sudah tau jawabannya.
Laki-laki itu menghela berat. Menepuk pundak Kinan beberapa kali. "Nanti gue bicara sama Ginan".
Kinan menggeleng dengan senyum tipis. "Enggak usah yaf. Dia udah gak percaya lagi, bisa-bisa Lo juga dimusuhin".
Kinan melebarkan senyumnya. Mendongak menatap Yafi yang menatapnya dengan bola mata sedikit membesar.
"Saat ini Ginan lagi terpuruk. Dia butuh salah satu diantara kita. Karena Dimata dia gue gak bisa dipercaya lagi, Lo bisa kan dampingin dia?". Tanya Kinan dengan sorot memohon.Yafi diam. Mengangguk kecil. Menatap punggung Kinan yang berjalan lebih dulu.
Yafi mengacak rambutnya kesal, melirik Kinan dibalik untaian rambutnya yang berantakan.
"Lo jahat banget, nan, sia-siain cewek sebaik Kinan". Lirih Yafi dengan dengusan berat, yang kemudian beberapa detik setelahnya berubah menjadi tawa lirih yang menyedihkan.
Menatap Kinan yang hancur perlahan meski raganya tetap berdiri tegak. Kinan yang tak terselamatkan meski sejak dulu pun gadis itu tidak pernah mengangkat tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome, Chairmate [END]
Teen FictionKinan kira, dirinya sudah cukup mengenal Ginan. Laki-laki pindahan yang tak pernah membicarakan keluarganya. Berusaha mencari kehidupan normal dengan terus berpindah. Ginan kira, dirinya sudah cukup pantas bagi Kinan untuk memiliki gadis itu, menja...