Kinan kembali bersandar di bangsalnya. Dengan selimut yang menutupi kaki hingga paha atas, gadis itu termenung menatap televisi.
Sekarang sedang ramai berita tentang si mantan walikota.
Sebagai satu-satunya orang yang sudah sadar, semalam Kinan sudah dimintai keterangan polisi—kemarin orang yang menemukan mereka melapor pada polisi.
Tentang kejahatan kejahatan mantan walikota yang baru terkuak. Tentang korupsi lainnya. Tentang komplotannya yang bersembunyi dalam berbagai jabatan.
Semua itu sudah terkuak. Tapi Ginan yang menghilang belum terkuak.
Iya, malam menjelang pagi itu polisi tidak menemukan Ginan, begitu jawaban yang Kinan terima atas pertanyaannya kemarin.
Kinan mendengus malas. Tidak tertarik lagi menatap televisi. Gadis itu memilih mengalihkan pandangan ke arah jendela.
Sore ini mendung. Tidak ada matahari sejak pagi tadi. Itu membuat cuaca jauh lebih dingin. Dan Kinan kembali mengeratkan selimutnya.
Sera dan Yafi belum sadar. Kecelakaan itu membuat banyak luka berat di tubuh mereka. Tiga rusuk Yafi patah, lengannya patah, kata dokter, Yafi hebat bisa bertahan selama itu dengan rusuknya yang patah.
Sementara Sera dari hasil ronsen, lehernya yang patah, dan ia mengalami pendarahan dalam kepalanya. Ah, jangan lupakan kakinya yang terjepit. Dokter bilang Sera belum bisa berjalan untuk sementara waktu, tapi gadis itu pasti sembuh.
Syukurlah semuanya sudah membaik.
Tapi...
Akan lebih baik lagi jika Ginan dan ayahnya juga disini...
Kinan menggigit bibirnya, menahan air mata yang hendak jatuh, lagi.
Baru beberapa hari ia kehilangan ayahnya, dan baru beberapa jam ia kehilangan Ginan, tapi Kinan sudah... Kinan sudah sangat merindukan mereka.
Kinan meringis, menekuk lututnya dan menyandarkan dagu, menatap jendela yang dipenuhi rintik rintik air hujan. Memainkan jemarinya diatas selimut.
BRAAK
Kinan terperanjat, buru-buru menoleh ke arah pintu.
"Ma—mama...?".
Mamanya berada di ambang pintu, tercenggang menatap Kinan. Kemudian masih dengan nafas yang sulit diatur, mamanya mendekat dengan langkah tergesa.
"Dasar bodoh". Ringis mamanya pada Kinan, tanpa aba-aba menarik Kinan kedalam pelukannya.
"Mama..?". Tanya Kinan bingung sekaligus kaget. Namun ketika merasakan mamanya menyembunyikan wajah dibalik pundak Kinan, kemudian menangis tanpa suara, Kinan mendadak terdiam.
"Kenapa kamu gak bilang sama ibu lebih cepat kalau ayah meninggal?!". Mamanya terisak pilu, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Melihat mamanya yang kembali menyebut diri dengan sebutan 'ibu', berhasil membuat mata Kinan kembali perih dan memanas. Kemudian menangis histeris dengan raungan pilu. Ikut menumpahkan semua air matanya yang belum terselesaikan, ikut berkabung dengan ibunya yang ternyata juga merasakan hal yang sama.
"Kinan kira.. hiks.. ibu udah gak peduli lagi.. hiks". Rengeknya, mengusap ngusap air mata di matanya berulang kali. "Ayah udah gak ada Bu.. ayah udah pergi..!". Kinan menangis semakin histeris. Tak peduli lagi dengan nafasnya yang semakin tersumbat.
Kemudian tangis itu semakin menjadi saat ibunya kembali memeluk Kinan. "Gi—ginan.. hiks... Ginan juga udah pergi". Adunya, nyaris berbisik lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome, Chairmate [END]
Teen FictionKinan kira, dirinya sudah cukup mengenal Ginan. Laki-laki pindahan yang tak pernah membicarakan keluarganya. Berusaha mencari kehidupan normal dengan terus berpindah. Ginan kira, dirinya sudah cukup pantas bagi Kinan untuk memiliki gadis itu, menja...