Keduanya sampai di toko buku setelah pulang dari rumah sakit. Kinan tidak menangis seperti semalam. Pasalnya hari ini, ada hal lebih baik yang bisa diceritakan.
Entah ayahnya mendengar atau tidak pun, Kinan tidak peduli. Gadis itu hanya ingin ayahnya tau bahwa entah sejak kapan, semenjak mengenal Ginan dalam beberapa hari, gadis itu mulai menemukan beberapa hal menarik yang membuatnya sedikit tertarik untuk kembali kepada kehidupan.
Mungkin jika tidak perlu disembunyikan, Kinan akan mengaku jika ia bersedia diajak berlari kencang hingga kakinya gemetaran. Kemudian bersembunyi bersama Ginan. Saling beradu tatap cemas. Memikirkan banyak hal dengan degup jantung yang tak terkondisikan.
Perlahan, Kinan mulai menikmati ritme jantungnya yang selalu berubah berantakan dan kacau. Mulai memikirkan hal lain selain rasa takutnya.
Dan bagi seseorang semacam Kinan. Yang sudah lama tenggelam di jurang tak berdasar. Yang sejak lama membutuhkan pertolongan, kehadiran sosok seperti Ginan merupakan anugrah.
Ginan yang juga lambat laun secara tak langsung meminta Kinan untuk menyerahkan masalahnya juga. Dan untuk bergabung kedalam masalahnya juga.
Bagi Ginan, berdua lebih baik. Selama ini pun, ia tidak sanggup menahan semuanya sendirian. Menghindar dari ancaman yang selalu menghantuinya sejak kecil.
Maka ketika Kinan yang secara tak sengaja ia bawa masuk, semua kehadiran gadis itu satu persatu membuat makna penting bagi Ginan pribadi. Saat laki-laki itu harus ekstra hati-hati memperhatikan Kinan, melindungi gadis itu dari ancaman, kemudian tanpa sadar perhatiannya berubah ke arah lain.
Saat entah sejak kapan ia mulai lebih suka memperhatikan senyum Kinan yang hanya satu dua kali terbentuk. Tapi sekalinya tersenyum, Ginan mau tak mau tersedot kedalamnya. Seolah membawa naluri alamiah bagi Ginan untuk memeluk Kinan dari semua masalahnya juga.
Sejak dulu, Kinan dan Ginan selalu mempunyai satu sayap saja. Rumpang. Getar-getir bertahan hidup. Bertemu berbagai rasa takut.
Hingga ketika keduanya bertemu. Mungkin bukan masalah besar jika keduanya mencoba untuk bersatu.
Meskipun kadang Ginan sering berfikir.
Dengan ribuan masalahnya yang tak kunjung habis, apa ia sanggup menambah Kinan kedalam daftar yang harus ia perhatikan selanjutnya?
Ginan tidak tau.
Atau mungkin belum tau.
Keduanya masih ragu. Hingga tanpa disadari, dibalik satu rak yang sama, Kinan dan Ginan sama-sama meremas buku yang mereka pegang. Menahan fikiran lainnya yang menerobos meminta jawaban.
Tapi tidak semuanya harus dijawab sekarang.
Kinan menghela berat. Mulai fokus melihat buku yang mungkin menarik untuk dibeli.
Dibalik rak pun, Ginan juga mulai berjalan ke tempat lain. Mencari tempat berbeda agar fikirannya tidak terus meminta jawaban.
Hingga tanpa Ginan sadari, langkahnya membawa tubuh jangkung itu menabrak pundak sempit seorang gadis yang kini terjatuh, mengaduh sakit ketika beberapa buku tebal yang dibawanya jatuh menimpa paha.
"Eh? So-sorry". Refleks Ginan. Segera berjongkok, membantu menyingkirkan buku novel tebal dari atas paha gadis itu.
"Lo gak papa?". Tanya Ginan cemas, mengulurkan tangannya pada gadis itu.
Sejenak, gadis itu tersenyum singkat. Menerima uluran tangan Ginan. Bangkit dan menepuk pelan pantatnya yang mungkin kotor.
"Gak papa". Ucap gadis itu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome, Chairmate [END]
أدب المراهقينKinan kira, dirinya sudah cukup mengenal Ginan. Laki-laki pindahan yang tak pernah membicarakan keluarganya. Berusaha mencari kehidupan normal dengan terus berpindah. Ginan kira, dirinya sudah cukup pantas bagi Kinan untuk memiliki gadis itu, menja...