BAB 2 : PENGANGGURAN PROFESIONAL

423 11 0
                                    




"Sahabat-sahabatku yang dahsyat sekalian, bagaimana kabar anda semua hari ini?" tanya Tigor kepada audiensi di hadapannya.

"Luar biasa!"

"Kurang semangat!! Sekali lagi saya minta suaranya!! SAHABAT-SAHABATKU YANG DAHSYAT SEKALIAN, APA KABARNYA ANDA HARI INI??!!" tanya Tigor kedua kali dengan mengepalkan tinju kirinya ke udara.

"LLLUARRRR BIASAAAA!!"

"Salam dahsyat untuk kita semua!!"

"Salam dahsyat!!!"

"Terima kasih-terima kasih, silahkan sahabat-sahabatku duduk kembali, sekarang saatnya untuk segmennnn," telunjuk Tigor mengarah ke audiensi.

"CURONGKRE – Curhatnya Orang Kere." Jawab para audiensi dengan kompak dan antusias.

"Ya, pada segmen ini kita akan mendengarkan curhatan orang kere soal keuangan, bisnis, hingga romansa. Bila ada salah satu di antara kalian yang ingin mengeluarkan isi curhatan silahkan maju ke depan studio bersama saya."

Hampir 80% audiensi mengacungkan jarinya yang bisa diartikan juga sebagai 80% penonton yang hadir di studio memang kebanyakan orang kere semua.

"Saya tidak bisa memilih semua, jadi saya akan pilih secara random. Ya, mas yang di sana bisa maju ke depan?" ajak Tigor kepada salah satu pemuda yang duduknya berjarak kurang lebih lima meter dari Tigor.

Pemuda itu maju dengan kikuk diringi tepuk tangan penonton dalam studio.

"Silahkan duduk, mas," Tigor mempersilahkan si pemuda untuk duduk.

"Terima kasih, Pak Tigor."

"Namanya siapa, mas ini kalau boleh tahu?" tanya Tigor.

"Yanto, Pak Tigor." Jawab si pemuda dengan bahasa tubuh yang kikuk.

"Tidak usah nervous, santai saja. Hidup ini tidak perlu disikapi terlalu serius," Tigor berusaha menenangkan si pemuda.

"Baik, Pak Tigor."

"Jadi curhatan mas apa ini?"

"Begini loh, Pak Tigor, saya tidak punya uang untuk menggebet wanita yang saya cintai, gaji saya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sementara wanita yang saya cintai itu memiliki profesi sebagai seorang model."

"Lalu?" tanya Tigor penasaran.

"Ya, maksud saya seorang model pastilah memiliki perawatan diri yang mahal, Pak."

"Perempuan high-maintenance."

"Hah? M-maksudnya?"

"Biaya perawatan dirinya mahal, bukan?"

"Ya, kira-kira seperti itu, Pak Tigor. Maksud saya seberapa besar kesempatan saya untuk mendapatkannya, walaupun secara finansial saya terlalu kere."

"Baiklah kalau begitu. Jadi begini saudara-saudaraku yang dahsyat sekalian, saya yakin banyak dari kalian yang menghadapi situasi seperti ini. Mencintai wanita dengan kondisi keuangan yang pas-pasan sangatlah menyedihkan. Saya juga pernah mengalami hal yang demikian."

Audiensi bertepuk tangan dengan gembira.

Si pemuda tersenyum lebar.

"Yang saya lakukan saat mengalami hal demikian adalah saya berkaca di depan cermin berukuran besar di rumah saya."

Penonton menyimak dengan wajah serius.

Si Pemuda melakukan hal yang sama.

"Lalu saya bertanya kepada diri saya sendiri, 'Pantaskah saya yang kere ini mendapatkan wanita yang cantik seperti dirinya?'"

Audiensi terdiam.

Pemuda terdiam.

"Saya merasa belum pantas saat itu, jadi saya memutuskan untuk belum mengejarnya."

Tigor berdiri dan maju ke depan mendekati penonton, meninggalkan pemuda di belakangnya, lalu kemudian melanjutkan ucapannya.

"Ingat loh, saya menggunakan kata BELUM PANTAS bukan TIDAK PANTAS. Lantas apa yang saya lakukan? Saya bekerja keras, saya membangun bisnis saya mati-matian, saya menjadikan diri saya mapan, saya tingkatkan kualitas diri saya hingga saya berkaca untuk kedua kalinya di hadapan cermin dan melontarkan pertanyaan yang sama, sudah pantaskah saya yang mapan ini untuk mendapatkan wanita yang cantik seperti dirinya? Saat itu saya menjawab 'ya saya sudah pantas,' kemudian saya memutuskan untuk mengejar wanita yang saya cintai, dan kini wanita itu hadir di antara anda sekalian, istri saya, Dian Sastro."

Penonton bertepuk tangan. Si pemuda juga bertepuk tangan. Sementara itu di antara penonton, Dian Sastro, si istri motivator, berdiri dan melambaikan tangannya kepada seluruh penonton studio. Dia teramat cantik dan anggun. Sangat beruntung Tigor memiliki istri idaman seperti itu, pikir penonton.

"Ayo mi, naik sini sama pipi." Ucap Tigor sambil menjulurkan lengannya.

Dian Sastro naik ke atas panggung mendekati Tigor. Tigor tersenyum penuh mesra. Bibirnya dimonyong-monyongkan sebagai tanda ingin menciumi istrinya sesegera mungkin. Entah bagaimana tiba-tiba di tangan Dian Sastro sudah ada ember berisi air. Dian Sastro menyiram wajah Tigor tanpa basa-basi.

Byuuurrrr!!

Tigor bangun dengan basah kuyup. Bantal guling dan tempat tidurnya basah semua. Di hadapannya ada mamanya, sedang berdiri memasang wajah masam dengan ember di tangannya.

"Mama, apa-apaan ini sih?" protes Tigor sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil.

"Heh, bangun, kau. Ini sudah jam 11 siang," kata mamanya.

"Kenapa harus pakai siram air segala sih? Memang gak bisa bangunin kaya orang normal apa?" rutuk Tigor.

"Heh, mama kau ini sudah mencoba bangunin kau, tapi kau sama sekali tidak bangun, kau hanya monyong-monyongin bibirmu macam beruk. Jijiklah mama kau ini. Jadi kusiram saja kau."

Tigor senewen, dan untuk sesaat, dia menyadari bahwa semuanya hanyalah mimpi; menjadi motivator terkenal, tampil di stasiun televisi, memiliki Dian Sastro sebagai istri. Untuk sesaat, ia menampari pipi kiri dan kanannya secara bergantian, namun dirinya tidak mendapati kembali menjadi motivator terkenal.

Bu Rosmida duduk di samping ranjang Tigor.

"Hei, Tigor, ini ada yang ingin Mama bicarakan kepadamu," ucap Bu Rosmida sembari memberikan handuk kecil ke putra semata wayangnya.

"Kalau ada maunya saja, baru baik," balas Tigor sembari menyeka mukanya dengan handuk kecil.

"Ini demi masa depanmu juga, Tigor."

"Apaan sih, Ma?" masih terdengar nada jengkel dari suara Tigor.

"Begini, kau harus cepat-cepat mencari calon istri dalam dua bulan ini, ya."

"Hah? Tumben-tumbennya Mama ngomong beginian ke aku?"

"Sekarang Mama tanya, umurmu sudah berapa, Tigor?"

"35 tahun."

"Kemarin, Mama arisan, semua ibu-ibu sudah punya menantu, kecuali Mama."

"Terus masalahnya di mana, Ma?"

"Masalahnya di mana? Masih saja kau nanya masalahnya di mana, ya? Kau bagaimana sih? Masalahnya ada pada dirimu, Tigor. Kau itu seorang pria, umurmu sudah 35 tahun, kau belum punya pekerjaan tetap sejak drop out dari kuliahmu. Sampai kapan kau akan hidup seperti ini terus? Bangun tidur sampai jam 11 siang, setelah itu sarapanmu sudah tersedia di meja makan, terus kau kembali tidur hingga malam, bangun untuk makan, terus tidur lagi. Macam sapi saja kau, lama-lama, Tigor!"

"Lalu, Mama mau aku menjadi seperti apa, Ma?"

"Mama ingin kau menjadi seperti anak-anak laki-laki lainnya. Mama ingin kau menjadi seperti anak laki-laki Bu Broto, Bu Ayu, Bu Joko, Bu Ratih. Mereka semua memiliki anak laki-laki yang sukses di bidang pekerjaan. Mereka memiliki istri idaman. Coba lihat itu, bagaimana teman-teman Mama bangga kepada anak-anak mereka semua."

Tigor beranjak dari kamar tidurnya.

"Hei, mau kemana kau? Ini Mama belum selesai ngomong, Tigor."

"Mau memberi makan Bejo."

"Burung saja yang kau urus!"

MENANTI MENANTU : SEBUAH NOVEL KOMEDI YANG TIDAK TERLALU ROMANTISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang