Rumah Kediaman Ranggainang
Pukul 20:00 malam, Pak Untung Ranggainang menerima setoran terakhir dari Andre Manulang, supir tembak yang sudah menjadi rekanan dalam menarik angkot miliknya jurusan Kranji–Pasar Proyek selama lebih dari dua puluh tahun.
"Hanya ini yang kudapat, Lae, setelah seharian narik," ujar Andre sambil menyerahkan Rp57.000 ke tangan Pak Untung.
"Tak apa-apa, Lae."
"Sampai kapan kau pertahankan usahamu ini, Lae?" tanya Andre.
Pak Untung hanya mengernyit sambil tertunduk lesu. Ia tahu bisnis angkot yang dilakoninya selama kurang lebih tiga puluh lima tahun sepertinya harus segera disudahi akibat semakin sepi penumpang.
"Tidak ada lagi, Lae, zaman sekarang yang mau naik angkot. Mereka lebih memilih transportasi online. Murah, cepat, dan bisa dipesan lewat henpon."
"Aku paham itu," jawab Pak Untung dengan nada berat. Suaranya terdengar patah seperti kayu bakar, menandakan sebuah kepasrahan akan kondisi saat ini.
"Kau ambil saja semua uang ini," kata Pak Untung sambil menyerahkan kembali uang itu kepada Andre.
"Kenapa tidak 40% saja, Lae, seperti biasa?" tanya Andre keheranan.
"Anakmu butuh susu sekarang. Kau belikan susu saja dulu. Tak usah pikirkan uang bensin hari ini. Aku yang isi nanti."
"Terima kasih, Laeku!" Andre menerima uang itu dengan suka cita. Rp57.000 mungkin tidak banyak bagi sebagian orang, tapi bagi Andre itu adalah uang yang lumayan. Terlebih dengan kondisi saat ini di mana mencari penumpang bukan perkara mudah.
Pak Untung merokok sambil menyeruput kopi hitam di teras rumah. Ia melihat dua puluh lima angkot yang terparkir di garasinya yang cukup luas. Sambil bertanya-tanya, Haruskah kujual mereka semua? Membuka lembaran baru? Bisnis baru? Tapi apa? Ia tidak memiliki kapabilitas lain selain mengelola usaha angkot.
Pak Untung Ranggainang hapal satu per satu angkot yang dimilikinya. Masing-masing angkot memiliki cerita dan kenangan dalam sejarah kehidupannya. Bagaimana tidak? Ia sudah memiliki angkot sejak berumur tujuh belas tahun. Ia belajar mengendarai angkot dari pamannya dan menyisihkan setiap pendapatannya demi menabung bertahun-tahun. Setelahnya, ia membeli angkot pertama, dan tiga tahun kemudian ia berhasil memiliki enam angkot. Semuanya disupiri oleh supir tembak yang ia pilih berdasarkan kekerabatan. Sisanya adalah sejarah. Kini ia memiliki total dua puluh lima angkot. Pak Untung adalah definisi from zero to hero atau from nothing to something bagi motivator-motivator di luar sana.
Pak Untung menyalakan korek api lalu membakar rokoknya. Ia menghisap pelan-pelan dan dalam-dalam. Kedua bola matanya menatap nanar ke langit gelap. Sesekali ia menghela napas.
Tigran White keluar dari dalam kamar, pergi menuju ke teras, dan melihat kekusutan pada raut wajah bapaknya. Langit malam begitu pekat, mungkin sewarna dengan apa yang ada dalam pikiran bapaknya sekarang.
"Pak, mikirin apa sih?" tanya Tigran sambil duduk di samping bapaknya.
"Oh, kamu, Tigor. Tidak apa-apa," ucap bapaknya sembari melempar senyum yang sedikit dipaksakan.
Tigran paham sekali kebiasaan bapaknya. Tipikal bapak-bapak Batak yang kaku, tidak mudah mengekspresikan diri di hadapan keluarganya. Entah sedang sedih, bahagia, atau kecewa, tidak pernah sekalipun bapaknya terbuka. Yang selama ini Tigran lakukan hanya menebak-nebak dari raut wajah si bapak. Kadang ia kompak mencari tahu apa yang ada dalam pikiran si bapak bersama mamanya bila sedang penasaran, dan hasilnya nihil. Mereka berdua kerap buntu dan tidak mendapatkan jawaban.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENANTI MENANTU : SEBUAH NOVEL KOMEDI YANG TIDAK TERLALU ROMANTIS
RomanceMenanti Menantu adalah sebuah cerita komedi dengan bumbu romansa yang mengisahkan seorang ibu bernama Rosmida Ranggainang yang berjuang untuk mencari calon menantu dalam waktu dua bulan sesuai janjinya kepada teman-teman kumpulan arisannya. Sementar...