BSB 6

99K 1.7K 196
                                    

Aku sedang mengerjakan tugasku saat Alex mengetuk pintu. Aku menyuruhnya masuk. Dia mengecek buku paket yang ada didepanku sebentar, kemudian mendudukkan diri di sofa. Selagi menulis aku meliriknya sekilas. Bertanya ada apa.

"Besok aku ada kuliah pagi. Mau berangkat bareng lagi?" Tawarnya. Membuatku seketika mengingat motorku.

"Oiya. Aku belum nanya ke papa. Tapi kayaknya motorku udah selesai deh kak. Kan servis gak mungkin lama" Balasku. Alex mengangkat bahunya.

"Ya emang, tapi ya kali aja siapa tau capek nyetir gitu. Kan bisa bareng aku aja sekalian"

"Sekolah aku sama kampus kakak kan beda arah. Emang gak masalah?"

"Kalo aku nawarin ya berarti gak masalah dong"

Aku menimang-nimang. Sejujurnya aku tidak suka naik motor apalagi menyetir, sekolahku dengan rumah baruku ini jauh, capek. Aku juga tidak suka berada di jalanan, yang terpenting aku tidak suka gerah. Tapi karena mama dari dulu bekerja dan aku anak tunggal, aku tidak punya pilihan lain selain menyetir sendiri ke sekolah.

Tapi sekarang aku punya Alex. Dan kini dia datang menawari untuk mengantarku. Aku tidak bisa menahan senyumku. Aku menatapnya berbinar kemudian mengangguk semangat.

"Mauuu" Ucapku. Alex tertawa.

"Yaudah lanjutin tugasnya" Ucapnya menggerakkan dagu seakan menunjuk tugasku.

"Kakak masih mau disini?" Tanyaku karena sepertinya Alex tidak berniat pergi.

"Kenapa? Gak boleh?" Tanyanya balik membuatku mencebik.

"Ya enggak. Cuma nanya aja"

Setelah itu aku kembali mengerjakan tugasku. Sementata Alex tetap duduk disana. Memperhatikanku. Sekitar hampir setengah jam akhirnya aku selesai.

Aku langsung menutup buku dan menoleh pada Alex. Dia memegang ponselnya, seperti mengetik sesuatu. Mungkin mengobrol dengan temannya. Atau mungkin pacarnya? Oiya aku belum tau tentang itu.

"Kak" Panggilku. Alex mendongak menatapku.

"Boleh nanya?" Tanyaku.

"Enggak" Jawabnya membuatku menekuk bibirku. Alex tertawa.

"Iya boleh. Tapi sinilah, masa mau nanya tapi jauh-jauhan" Ucapnya menepuk sofa disebelahnya. Aku menurut. Duduk di sebelahnya dengan kaki menyila.

"Mmmm mau nanya tapi jangan marah"

"Emangnya nanya apa kok sampe marah hm?" Tangan Alex terangkat ke anakan rambutku yang tidak ikut terikat karena terlalu pendek. Memainkannya.

"Itu.... Maaf kalo kepo. Tapi... Kakak udah punya pacar?" Tanyaku akhirnya. Alex terkekeh pelan.

"Nanya gitu aja, aku kira apaan. Gak punya nih. Kenapa? Mau nyariin? Atau mau daftar?" Tanyanya menaik turunkan alis, menggoda. Langsung kupukul kakinya.

"Mana ada" Balasku. Alex tertawa lagi.

"Kalo kamu? Punya?" Tanyanya. Tangan Alex masih memainkan rambutku. Aku menggeleng.

"Tapi aku lagi suka sama cowok" ucapku jujur. Tangan Alex berhenti. Dia diam menatapku. Aku balas menatapnya.

"Seangakatan, tapi beda kelas. Ganteng kak. Namanya Glen. Kapten futsal"  Lanjutku. Sekalian curhat ke kakak sendiri tak apa kan?

"Gantengan mana sama aku?" Tanya Alex membuatku memukul kakinya lagi. Padahal aku sedang serius dia malah bercanda.

Tapi kalaupun pertanyaannya serius, aku akan susah menjawab. Karena sama-sama gantengnya, hanya punya pesona yang berbeda. Pesona yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tapi yang jelas, beda.

Berdasarkan pembawaan diri pun beda. Glen sosok yang cerah dan keren. Sementara Alex sosok yang tenang dan dewasa. Jangan salah, meskipun Alex suka menonton kartun dan sering tertawa tidak jelas, dia adalah sosok yang dominan tenang, dewasa dan juga mengayomi. Apalagi saat serius seperti waktu itu, hmm serem. Lebih baik dia tertawa tidak jelas dari pada mode seperti itu lagi.

"Dia tau kamu suka dia?"

Aku menggeleng.

"Tapi kita deket. Temenan"

"Bagus. Udah temenan aja, jangan sampe dia tau kamu suka"

"Kenapa emangnya kak?"

"Nanti kamu kehilangan dia sebagai temen. Mau?"

"ih jangan nakut-nakutin" Protesku.

"Loh. Gak nakut-nakutin. Aku serius. Makanya jangan bilang ke siapa-siapa kalo kamu suka dia"

Aku mengangguk-angguk. Menuruti saja nasihatnya. Lagipula aku tidak pernah bilang ke siapa-siapa. Hanya Grace saja yang tau. Dan sekarang bertambah Alex juga tau.

Tangan Alex kembali bergerak memainkan rambutku lalu menyelipkan ke belakang telinga.

"Yang waktu itu...." Aku melirik Alex yang kembali bicara setelah cukup lama kita berdua diam.

"Gak ngomong apa-apa ke papa mama kan?" Tanyanya. Jujur aku bingung. Maksudnya apa? Sepertinya Alex paham kebingunganku.

"Yang itu" Ucapnya lagi.

Alex menatapku kemudian matanya bergerak kebawah. Bodohnya aku mengikuti arah pandangnya dan seketika membuat pipiku bersemu merah. Panas. Bayangan akan dirinya yang berdiri memegang kejantanannya muncul lagi di kepalaku. Sial.

Tiba-tiba Alex tersenyum, mengelus pipiku. Tubuhku mendadak merinding.

"Merah sampe telinga. Bikin gemes" Ucapnya, mengusap pipi lalu beralih ke telingaku.

Aku langsung menggeser dudukku. Menggosok telingaku. Memang telingaku suka ikutan merah saat aku malu.

"Jangan bilang mama papa yaa" Pinta Alex. Langsung kuangguki dengan mantap.

"Iya, santai kak. Aku gak ngaduan kok"

"Bagus deh. Beneran loh ya gak ngaduan"

"Iya iya. Lagian menurut aku wajar kok. Kan kakak udah dewasa. Temen aku aja banyak yang nonton begituan"

"Termasuk kamu?" Selidik Alex tiba-tiba memicingkan matanya menatapku membuatku gelagapan.

"eh? E-enggak"

"Bohong"

"E-nggak kok. Beneran"

"Kalo beneran kok gagap?"

Sial. Alex membalikkan ucapanku tadi siang. Alex semakin tertawa melihatku terdiam.

"Gemes banget sih ih. Jadi pengen nyium"

Kali ini bukan hanya sebatas omongan, tapi Alex benar-benar memajukan tubuhnya. Aku mendelik terkejut, ingin mundur tapi sudah dipaling ujung, tertahan pinggiran sofa. Jadi aku hanya bisa menahan dadanya dan menarik kepalaku kebelakang menjauh sebisanya.

"Kak" Aku mendorongnya, panik.

"Kenapa? Katanya seneng punya kakak. Masa kakak gak boleh nyium adeknya sendiri? Bohong ya? Masih gak nerima aku sebagai kakak kan?" Tuduhnya. Aku seketika menggeleng.

"Ng-nggak gitu. Tapi..... kan aku udah gede kak"

"Apanya yang gede?" Alex tersenyum menggoda. Pertanyaannya itu membuatku lagi-lagi mendelik dan reflek memukul dadanya. Aku paham pertanyaan itu. Teman-temanku suka bercanda mesum seperti itu di sekolah. Menyebalkan.

Alex tertawa lagi. Kemudian dia kembali duduk tegak seperti semula. Tidak jadi menciumku. Atau mungkin dari awal memang tidak berniat menciumku beneran. Hanya bercanda, menggodaku saja.

Tapi ternyata dugaanku salah. Saat aku lengah, Alex kembali mencondongkan tubuhnya dan dengan cepat mencium pipiku. Lalu segera berlari keluar dari kamarku. Meninggalkanku yang masih melotot terkejut.

Aku mengusap pipiku. Kemudian tanganku beralih ke dadaku, merasakan jantungku yang berdegup tidak biasa. Mataku masih tertuju ke arah pintu dimana Alex terakhir terlihat.

Apa.... dia barusan benar-benar menciumku?

__________

Kayaknya, gue bakal berhenti up dulu. Untuk menghormati yang puasa. Mumpung masih sepi juga. Gue bakal balik lagi nanti. See ya

Bad Step BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang