Tiga Belas

61 6 0
                                    

POV Icha

Hari ini aku masuk sekolah, hubunganku  dengan Kenan telah selesai. Mungkin ia tengah berbahagia dengan Kiara. Aku tersenyum pilu. Apa mereka menertawakan ku? Atau selama ini aku telah menghalangi perasaan mereka?. Sudahlah aku harus menghadapi ujian sebentar lagi. Akupun juga harus fokus dengan pengobatanku nanti.

Saat menuju ruang perpustakaan kakiku mendadak kaku. Dia, Kenan berada di depanku sepertinya ia akan menuju kelasnya. Kami berpapasan, namun ia melewatiku begitu saja tanpa melihatku sedikit pun. Tanpa permisi air mata ini tetap saja mengalir walaupun sudah mati-matian ku tahan. Sebelum masuk ke perpustakaan sebaiknya aku membersihkan mukaku dulu.

Tak terasa ujian sudah berlalu. Kami tinggal menunggu pengumuman sebulan lagi. Perjuangan kami selama tiga hari itu akan menentukan langkah kami selanjutnya.
Perjuangan selama tiga tahun akan bergantung ujian yang hanya tiga hari.

Sesuai janjiku pada diriku sendiri aku harus memeriksakan kesehatanku. Pagi ini aku pergi menemui dokter itu. Seperti yang di sarankan aku harus menjalani operasi pengangkatan tumor. Aku mendapat jadwal tiga hari lagi. Aku menandatangani semua persetujuan tanpa wali. Itu atas persetujuan ku sendiri dan dokter tidak keberatan. Aku pulang dan berdoa agar operasi ini berjalan dengan baik.

Tiga hari yang terlewati aku mengumpulkan tenaga baik itu secara fisik maupun mental. Beberapa menit lagi aku akan memasuki ruangan itu. Aku berdoa dalam hati sambil menutup mataku. Aku sedikit mengintip, aku melihat sinar lampu dan beberapa dokter yang memakai masker. Aku tak tahu berapa jumlah dokter itu, dua atau tiga atau empat. Entahlah mataku rasanya berat dan aku tak tahu apa yang terjadi.

Perlahan mataku terbuka, hal yang pertama kulihat adalah sinar lampu diatas kepalaku. Apa yang terjadi? Kususun kepingan puzzle itu. Ah, aku baru saja menjalani operasi. Pintu terbuka. Seorang dokter masuk dengan tersenyum.
"Selamat Nona Isabella, kamu sudah sadar".
"Dok, apa aku sudah sembuh?" tanyaku.
"Kamu belum sembuh total, masih harus rutin cek up. Istirahatlah, dua hari kedepan kamu sudah bisa keluar" ucap dokter itu setelah memeriksaku. Setelahnya ia pergi meninggalkan ruangan ku.

Sudah seminggu aku keluar dari rumah sakit, aku masih istrahat di rumah. Pagi ini Nia menelponku untuk menemainya ke sekolah. Aku tidak tahu apa keperluannya. Tiba di sekolah banyak teman-teman kami yang masih aktif entah di rohis, OSIS, serta kegiatan ekstra lainnya tanpa mengganggu adik-adik kelas kami yang masih aktif belajar.

Aku menunggu Nia yang masih membereskan sekret mereka. Nia aktif di pecinta alam sedangkan aku hanya aktif membuat tabloid, pamflet, brosur, untuk mading sekolah.
Aku penasaran dengan tulisan-tulisan ku apakah masih ada di mading, aku berjalan menuju ke sana. Dari jauh aku melihat seseorang sedang menatap mading tersebut. Mungkin dia sedang membaca. Aku langkahkan kakiku perlahan, dari postur tubuhnya sepertinya aku mengenalnya. Kakiku berhenti seketika. Aku tidak boleh kesana. Sebelum aku memutar tubuhku. Tubuhnya berputar duluan. Kami bersitatap. Darahku berdesir kencang, jantungku memompa dengan cepat. Apa aku belum melupakannya? Apa dia berpotensi untuk membunuhku?. Aku tak boleh kalah. Sebelum dia pergi, maka aku yang harus pergi duluan. Ini saatnya aku yang meninggalkan dia lebih dulu. dengan gerakan cepat aku memutar tubuhku, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nia yang ternyata sedang mencariku dari tadi. Kami memutuskan untuk pulang.

Aku kembali ke rumah sakit mengecek kondisi kesehatanku. Karena belakangan aku merasakan sakit kepala yang sangat sakit.
Dokter itu mengatakan " masih ada tumor yang tersisa. Dan ini ganas. Kita akan melakukan radioterapy"
Seketika harapanku kembali hancur. Tiba-tiba aku merasakan nyeri pada perutku yang melilit.
Kata dokter ada komplikasi antara ginjal dan ususku.

Aku tak bisa lagi menyembunyikan ini. Aku memberitahu orang tuaku dengan hati-hati agar mereka tidak syok. Aku segera meminta maaf kepada keduanya kalau-kalau akan terjadi sesuatu padaku. Tak lupa juga kepada Nia, aku minta maaf. Nia langsung datang ke rumahku dan aku menceritakan semuanya. Nia menangis memelukku, dialah satu-satunya sahabatku. Nia bahkan marah kenapa tidak memberitahunya sejak awal. Aku juga ingin minta maaf pada Kenan. Tapi bagaimana caranya. Aku menuliskan surat untuknya. Lalu menyimpan di boks semua pemberiannya. Toh, semua pemberian ini hanyalah kepalsuan. Aku memberikannya kepada Nia agar menyampaikannya pada Kenan. Sebenarnya aku akan memberikan ini sendiri tapi aku takut tak punya waktu lagi.

Kedua orang tuaku telah tiba. Aku memeluk mereka. Sayang kedua adikku tidak ikut. Mereka dititipkan sama tanteku disana. Malam ini aku tidur di antara mamah dan papah ku. Aku berasa jadi anak kecil lagi. Saat tengah malam aku merasa haus, aku bangun menuju dapur.setelah meneguk air satu gelas, kepalaku rasanya sakit, perutku semakin sakit dan mataku gelap seketika.  Terakhir aku mendengar suara jeritan.
"Ichaaa".

Hatiku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang