Empat Belas

101 5 0
                                    

POV Kenan

Aku menatap mata gadis yang sedang mewawancarai ku itu. Pertanyaannya sangat banyak. Ah, dia sangat kepo ternyata. Tak apalah aku bantu lumayan biar dapat pahala.

Saat aku habis latihan, aku melihatnya membawa dua boks besar. Aku tahu itu isinya pasti berbagai informasi untuk keperluan mading. Aku tersenyum melihatnya yang membawa barang itu sendirian. Kenapa ia tidak meminta bantuan.

Status ku adalah menjadi pacarnya.  Semua karena Kiara. Aku menyukai Kiara karena cantik, semua orang menyukainya. Tapi Kiara malah membuatku untuk berpacaran dengan gadis itu. Padahal aku tidak menyukainya.
Aku mencoba membuka hatiku untuknya. Aku tahu ia teramat sangat menyayangi dan mencintaiku. Namun yang aku rasakan hambar. Aku ingin menjalani hubungan bukan karena orang lain, tapi karena akupun menginginkannya. Aku tahu banyak usahanya agar aku menyukainya, ia mengajak ku nonton, memaksaku memberikan bunga, hadiah dan aku memenuhinya. Ia sangat perhatian padaku mengirimkan ku kata-kata semangat, membuatkan makanan kesukaanku. Hingga di waktuku yang sulit ia menemaniku. Namun lagi-lagi kutolak semua itu, rasa penasaran akan Kiara tetap masih membara.
Perlahan ku abaikan dia, semua perhatiannya ku tolak secara terang-terangan. Bahkan aku mengatakan kata-kata yang pedih. Aku tahu dia bersedih. Tapi ini untuk kebaikannya juga.

Aku tak tahan lagi, aku memutuskannya lewat pesan singkat. Karena aku telah menembak Kiara, betapa terkejutnya aku ternyata selama ini Kiara menyukaiku juga.

Aku tahu ia masih berjuang, beberapa kali ia menangis karena ucapanku bahkan aku menghancurkan makanan yang pernah ia bawakan. Seketika hatiku sakit melihatnya menangis.

Akhirnya ia mengetahui aku dan Kiara telah berpacaran. Aku juga tidak bermaksud untuk menyembunyikan hal ini darinya.
Aku melihatnya menangis lagi, bahkan dia mendorong Kiara. Dengan refleks aku memeluk tubuh Kiara lalu mendorongnya. Tubuhnya terhuyung kebelakang. Aku terkejut dengan yang ku lakukan. Apa yang dilakukan tanganku?apa aku menyakitinya?
Dia pergi tiba-tiba dia pingsan.
Aku tahu dia benar-benar pingsan tapi lagi-lagi aku menyakitinya dengan ucapanku.

Setelah hari itu, walau kami berpapasan aku tidak ingin melihat wajahnya apalagi untuk menyapanya.

Setelah kami menyelesaikan ujian, aku dan teman-teman ku masih rajin ke sekolah. Aku mengurus banyak hal untuk keperluan kuliah nanti begitu pun dengan teman-teman yang lain. Juga membicarakan tim penerus-penerus tim basket kami. Teman-teman yang lainnya juga terlihat mengurusi OSIS, rohis dll, tanpa menggangu adik-adik kelas kami yang masih aktif belajar.

Semua terlihat bahagia tapi.....aku tak melihatnya. Kemana dia? Apa dia tidak mau mengurus madingnya atau urusan kuliahnya nanti?. Dua minggu ini dia tidak terlihat. Aku mencarinya, tapi tak menemukannya. Aku hanya melihat temannya. Biasanya mereka selalu bersama. Aku ingin bertanya, tapi ku urungkan.

Hubungan ku dengan Kiara hanya bertahan sebulan, aku tak nyaman dengan Kiara. Seminggu setelah ujian kami putus. Aku tak sedih, itu keputusan kami berdua. Dia tipe cewek yang suka hang out, traveling dan suka mengeksplor diri. Kiara sangat terbuka. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu aku hanya kurang cocok saja dengannya.

Ini Minggu ketiga setelah ujian, aku belum melihatnya ke sekolah. Entahlah, aku ingin melihatnya saja. Tapi kalau bisa aku ingin berbicara dengannya. Mungkin minta maaf.
Aku berjalan menuju tempat yang memuat banyak informasi. Aku menatap tulisan-tulisan itu, redaksi-redaksi kalimat itu. Aku teringat waktu membantunya dulu. Tiba-tiba aku merasa jantungku seperti berdebar, seperti ada seseorang yang mempehatikanku. Aku memutar tubuhku. Waktu seperti berhenti, aku memandangnya. Matanya tak seperti dulu lagi saat menatapku. Apa dia sudah berubah? Hatiku mendadak tertusuk saat ia memutar tubuhnya dan melangkahkan kakinya dengan cepat tanpa menoleh. Padahal aku masih ingin menatapnya, entahlah.

Hari ini adalah pengumuman, nama
-nama yang lulus telah tertempel di mading itu. Kami bersorak saat melihat nama kami masing-masing lulus. Aku juga sempat melihat namanya yang lulus Isabella Putri Admajaya. Tapi dia tidak datang. Kenapa dia absen di hari yang penting ini. Aku melihat Nia yang senang tapi menitikan air mata. Aku menghampirinya.
"Nia Kenapa Icha tidak datang?"
Nia tidak menjawabku. Nia pergi begitu saja. Mungkin Nia masih marah denganku karena menyakiti sahabatnya.

Malam ini adalah malam prom night. Aku bersama teman-temanku, Ali, Iksan dan Bram sedang menikmati minuman sambil menyaksikan teman-teman kami yang lagi berbahagia.
Ali pamit menemui pacarnya, begitupun Iksan. Aku dan Bram masih di tempat yang sama.
" Liat tu mantan loh" kata Bram menunjuk seseorang.
Aku langsung mencari sosok itu, aku mendesah kecewa. Ternyata itu Kiara. Aku tidak tahu bersama siapa.
Bram tertawa melihat reaksiku.
"Emang kalau sudah tiada baru terasa" ucap Bram sepertinya sedang mengejekku.
"Sialan loh" umpat ku pada Bram.
Bram meninju bisepku lalu pergi.

Tiba-tiba Nia datang. Aku kaget dari mana asalnya. Nia menyerahkan sebuah boks padaku.
"Nan, ini dari Icha katanya maaf tidak bisa mengembalikannya sendiri". Aku menerima boks tersebut. Aku tahu pasti ini akan terjadi. Dia akan mengembalikan semua pemberianku. Aku tersenyum kecut. Bahkan malam ini dia tidak datang juga.
Aku beranikan diri untuk bertanya pada Nia.
"Kemana Icha?"
"Aku tidak tahu" jawab Nia.
Aku tahu dia berbohong. Baiklah. Aku akan cari tahu sendiri.

Siang ini aku dan teman-temanku; Ali, Iksan dan Bram berada di sebuah restoran. Malam nanti Bram akan pergi di London. Bram akan kuliah di sana. Ali dan Iksan akan kuliah di dalam negeri saja. Sedangkan aku akan kuliah di New York. Tiga hari lagi aku akan berangkat. Kami masih merayakan kelulusan kami sekaligus perpisahan dengan Bram. Sebelum pesanan kami datang aku ijin toilet. Setelah menyelesaikan urusan, aku kembali namun aku bertabrakan dengan seorang wanita. Aku segera meminta maaf, iapun meminta maaf juga. Lalu menyapaku duluan.
" Bukankah kamu temannya cewek yang pingsan waktu itu?".
Aku mengingat saat Icha pingsan di taman waktu itu.
"Iya,"
"Ingatan anda sangat kuat" sambung ku.
"Iya, saya sangat mengingat mu. Karena waktu itu kamu menyimpan hp dan KTP karena kamu tidak bawah uang cash".
Aku tersenyum ramah pada perawat itu.
"Bagaimana kondisi temanmu itu? Apa dia sudah cek up di rumah sakit?" tanyanya lagi. Aku jadi penasaran.
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Kalau dia belum cek up sebaiknya di kasih tahu untuk segera cek up. Sepertinya dia sakit serius".
Aku masih mencernah ucapannya.
Perawat itu pamit meninggalkanku.

Saat di motor, aku mengingat perkataan perawat itu. Apa dia sakit?. Aku akan kerumahnya. Aku akan memastikan dia baik-baik saja. Saat di jalan aku melihat mobil Nia. Aku berbalik dan mengikuti mobil Nia. Mobil Nia memasuki area rumah sakit. Saat turun, akupun mengikutinya. Nia sangat cepat, aku jadi kehilangan jejaknya. Akupun berlari. Saat berlari aku berpapasan dengan para perawat dan dokter yang mendorong brankar orang sakit, lebih tepatnya sedang sekarat. Kakiku berhenti dan memperhatikan seseorang yang tergeletak diatas brankar itu. Seorang wanita dengan berbagai macam alat-alat yang terpasang ditubuhnya. Mataku terpaku melihatnya. Dia seperti....Icha, tidak mungkin. Aku masih diam memandangi mereka yang sudah menjauh.
Seorang gadis berjalan tertatih melewatiku. Nia. Aku meraih bahunya. Nia sedang menangis terisak.
"Itu Icha?". Nia mengangguk lemah.
Aku berlari sekencang mungkin , aku tak mendapati orang-orang itu. Aku segera memacu motor ku menuju rumahnya. Saat sampai di depan pagarnya aku segera masuk.
Aku mendapati ART nya sedang menangis di teras rumahnya.
"Bik, ada apa?"
Si bibik segera menghapus air matanya. Bibik sudah mengenalku. Karena beberapa kali aku kerumah ini.
"Den Kenan" gumam bibik.
"Bik, apa Icha baik-baik saja?"
Bibik menangis lagi,
"Den, Non Icha sakit. Non Icha tidak sadarkan diri lagi selama beberapa hari ini. Non Icha sakit keras dia tidak pernah cerita ke bibik".
"Lalu dia dimana bik?".
"dibawah berobat di luar negeri den, bibik nggak tahu dimana".
Bibik kembali menangis. Aku tak bisa menahan air mata ku.

Aku meninggalkan rumah Icha, pergi di bandara. Tiba di sana aku tak melihat siapapun.
Dadaku sesak, hatiku perih, perasaan ku kacau. Aku mendial nomornya. Tapi tidak aktif lagi.
Aku kembali kerumah dengan hati yang kosong.


Hatiku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang