Seperti terseret kembali, Jea mengakui bahwa dirinya sekarang malu kembali mengingat kejadian di rumah keluarga Na. Apalagi ada Jaemin di sana yang ternyata sudah berdiri di daun pintu memerhatikan Jea dan Mamanya sudah lama.
Rasanya Jea pengen nampol Jaemin, tapi bukan tujuan sebenernya berhadapan dengan Jaemin sekarang.
Mereka lagi di taman belakang rumah Jaemin. Halamannya lebih luas ketimbang teras depan.
Setelah sekalian makan malam dengan keluarga Na, sampai warna langit berubah semakin pekat, Jea belum juga kembali ke rumah.
Menikmati angin malam yang menggelitik pori-pori kulitnya, Jea menatap kosong di hadapannya. Seakan sekarang banyak yang lagi Jea pikirkan.
"Jea," panggil Jaemin yang lagi duduk di bangku dekat ayunan yang juga lagi ditempati Jea.
Jea nggak main ayunan kek mau terbang. Nggak. Jea cuma ngayun pelan-pelan, ngeliatin Jaemin sesekali. Udah kek bener-bener di drama.
"Hm?"
"Gak apa-apa cuma mau manggil aja."
Hening lagi kemudian.
Tiba-tiba Jea tertawa kecil, "perasaan lo lebih sering yang manggil gue duluan."
Jaemin menoleh ke Jea. Jaemin ikut dalam suasana, hanya aja Jaemin menyematkan senyuman kecil.
Kalo dipikir-pikir kembali pun memang benar. Jaemin yang selalu berani memanggil Jea terlebih dahulu. Nggak tau sih, secara naluri Jaemin memanggil Jea.
"Lo aja yang terlalu gengsi."
"Kata siapa?"
"Gue, barusan."
Hening lagi kemudian. Keduanya sama-sama sedang menikmati angin malam yang sejuk.
"Nana."
"Ya?"
Jea menggigit bibir bawahnya ragu, sejemang memandang rumput-rumput di bawahnya. Menghembuskan napas panjang, barulah Jea mengangkat kembali pandangannya menatap Jaemin tulus.
Baru kali ini tatapan Jea bener-bener tulus.
"Terima kasih lagi."
Belum ingin Jaemin membalas, Jea sudah kembali menjelaskan semua unek-unek yang lagi dirasakannya kini.
"Terima kasih udah buat gue sadar dan mikir semuanya. Mungkin emang guenya yang terlalu bermasalah, jadi sulit buat lepas dari semua itu. Sebenernya..."
"... Gue udah ga separah dulu. Kondisi gue udah jauh membaik, meski gue beberapa kali harus konsultasi kondisi gue. Itu cuma buat jaga-jaga aja. Obat-obatan yang lo temuin, gue emang sengaja beli. Gue nggak bener-bener bakal minum itu semua. Gue udah keluar dari situasi kelam itu."
"Dan lagi... Gue bukannya ga bisa keluar, tapi terkadang gue cuma ga mau keluar. Rasa bersalah bakal selalu ada. Mau sengaja dilupain pun bakal tetep ada. Ingatannya bakal tetep kesimpan, meski harus pura-pura lupa semuanya. Itu emang nggak semudah keliatannya, Na."
Jaemin yang sejak tadi terdiam memandangi bagaimana Jea berbicara, pikirannya menjadi kalut dan melunak. Perlahan Jaemin menghampiri Jea.
Tanpa disangka, Jaemin justru menundukkan tubuhnya, satu kakinya menapak tanah. Kepalanya nunduk, lantas tangannya bergerak mengikat tali sepatu Jea yang lepas. Entah Jea sendiri ga sadar kapan lepasnya.
"Terkadang luka itu ada dua jenis tipe. Ada yang dengan disadari dan ada yang nggak disadari. Tipe yang sadar, lo bakal nata kembali luka itu meski rasanya sangat menyakitkan. Dan tipe yang nggak disadari, lo butuh tangan orang lain untuk narik lo dari lubang luka yang menyakitkan." Jaemin mengecangkan ikatan tali sepatu Jea.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTIST
Fanfiction[LENGKAP] (2) Gak suka, tapi cuma demen. Gak sayang, tapi kadang ngangenin. Gak cinta, tapi bikin bahagia. Yaudah intinya dibaca aja dulu. ⚠beberapa typo dan bahasa yang kasar. 07 November 2019- ©anonters