empat puluh tiga: mau mati

46 5 0
                                    

"Hahaha, jadi Jea cuma akal-akalan lo doang?" Kata Haechan yang masih sempat bicara disela bibirnya yang lebam.

Bukan hanya bibir. Seluruh tubuh dan wajahnya penuh luka. Bahkan saat ini, Haechan tengah menahan rasa sakitnya. Sialan, kalo aja dia kagak bawa pasukannya. Udah gue tebas kepalanya. Sial, sial, sial!

Orang itu terkekeh, seperti orang sinting di mata Haechan. Menyajarkan tubuhnya dengan Haechan yang menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Berjongkok tepat sejajar dengan Haechan. Memiringkan kepala dan tersenyum sadis, lalu satu tangannya menjambak rambut Haechan hingga kepalanya sedikit tertarik ke belakang.

Kepalanya terangkat senga dan tertawa sekencang-kencangnya menatap Haechan yang terlihat sangat mengenaskan. "Sekarang lo udah ga bisa apa-apa. Lo juga udah babak belur. Nanti tinggal nunggu nyawa lo aja yang gue selesaikan."

Napas Haechan naik-turun tak beraturan, ditambah rasa emosi yang memuncak membuat tangannya mengepal kuat. Rasa ingin meninju habis-habisan orang di depannya, hanya saja Haechan sadar dirinya dalam keadaan yang tidak memungkinkan sekarang.

Ya, Tuhan, bila malam ini gue mati. Tuhan tolong, jangan jadikan mereka hidup tenang. Ini kutukan.

"Lo ngerti nggak, kenapa gue pengen lo mati?" Orang itu menjeda kalimatnya, tersenyum yang bahkan lebih mengerikan. Lantas memajukan kepalanya di samping daun telinga Haechan, "karena gue benci banget lo hidup, dek." Bisiknya penuh rasa sakit.

"Bangsat!—"

"Sstt, sstt. Jangan teriak gitu dong, dek. Percuma. Gak ada yang bisa nolongin lo. Kecuali gue, ya gue nolongin lo untuk pergi dari dunia ini HAHAHA!!!"

Orang itu melepas jambakkannya dengan membuang kepala Haechan kasar. "Harusnya lo sadar. Lo nggak perlu jadi bagian dari keluarga gue! Lo cuma sampah! Lo dan mama lo yang jalang itu, SAMPAH. TAU KAGAK LO ANJING?!"

Ya, mereka bersaudara. Tapi tidak sedarah. Orang tua Haechan yang dulu bercerai, Mama Haechan jadi menikahi Papa Jeongwoo, papa tiri Haechan sampai sekarang. Segala akses kekayaan dan harta betul punya papa Jeongwoo. Jeongwoo sediri tidak tinggal di rumah bersama Haechan. Kabur dari rumah dan baru datang kembali untuk balas dendamnya bertahun-tahun.

"Minta maaf lo nyebut kasar mama gue tadi."

"Hah? Minta maaf? Cuih," Jeongwoo membuang ludah di kepala Haechan. "HARUSNYA ITU LO YANG MINTA MAAF. LO UDAH AMBIL PAPA GUE. LO UDAH AMBIL HARTA DAN KASIH SAYANG PAPA. LO UDAH AMBIL TEMPAT TINGGAL GUE. LO UDAH REBUT SEMUANYA. KEBAHAGIAAN. KETENANGAN. BAHKAN KENANGAN SAMA ALMARHUM MAMA GUE. P-papa bahkan udah ga inget sama mamah," Jaeongwoo meremas tangannya, air matanya mengalir tanpa skenario.

Sebetulnya tujuan Jeongwoo kemari hanya ingin meghabisi Haechan. Sudah itu saja. Dia sekarang menangis, karena terbawa suasana. Jeongwoo terlalu sakit hati, sampai melampiaskannya kepada Haechan. Dia ingin Haechan kesayangan papanya itu mati. Sejak kecil, pertama kali Haechan hadir di rumahnya, papanya jadi beralih. Semua tertuju pada Haechan. Hal yang pertama kali ditanyakan pun Haechan. Haechan, Haechan, dan Haechan. Jeongwoo selalu sabar menahannya beberapa kali. Tapi, sewaktu SMA Jeongwoo pernah terlibat perkelahian dengan Haechan yang waktu itu masih SMP. Kepala Haechan bocor, karena Jeongwoo sengaja mendorong Haechan yang tengah menuruni tangga.

Ya, sejak itu Jeongwoo lebih memilih angkat kaki dari tempat tinggalnya. Meski berat dan penuh pertimbangan, mau tak mau Jeongwoo memilih keluar dari rumah yang baginya tak pernah lagi ia rasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

"Lo salah," lirih Haechan. Dadanya terlalu sesak, rasanya seperti mau mati untuk Haechan. Tapi daripada mati menyakitkan seperti ini. Dirinya harus bertahan. Ini hanya tentang kesalahpahaman diantara saudara tiri.

ARTISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang