Bab 4 | Peninggalan

28 7 3
                                    


"Aku berjalan ke rumah itu.

Rumah dimana aku dan keluargaku sempat bersendagurau,

Di halaman ini dulu terhiaskan kebahagian,

Sekarang hanya menyisakan luka dan penyesalan.

Pantulan dari kaca jendela yang mengingatkanku pada senyuman hangat ibu,

membuatku terjatuh dalam kerinduan.

Ayunan usang yang berkarat sudah tak lagi bergoyang dan membawa kehangatan dari suara tawa ayah.

Coretan dinding dari adik kesanganku, kini sudah tak berbentuk.

Goresan tangan tersebut, hanya terlihat seperti gambar abstrak yang tersapu oleh hujan.

Semakin aku masuk, semakin dalam aku terjatuh ke dalam lubang yang gelap.

Aku mengingat kembali penyesalanku.

Di saat ibu terbaring tak bernyawa di atas sofa,

Ayah yang tergeletak di lantai dengan penuh darah,

Dan adikku yang membiru karna tenggelam.

Tapi kenapa aku baik baik saja?

Pada saat mereka tersiksa aku ada di mana?

Aku tak ingat sama sekali apa yang terjadi padaku.

Ingin rasanya aku menyayat nadi nadi ku,

Agar aku bisa merasakan hidup.


Mereka bilang,

"Bersyukurlah kau masih hidup"

Hidup?

Bagaimana aku bisa hidup ketika keluargaku mati?

Ketika ayah, ibu, dan adikku telah tiada.

Sungguh aku sudah lelah.

Aku mengambil serpihan kaca di dekat kakiku.

Tanpa fikir panjang,

aku menggoreskanya ke kedua pergelangan tangan ku.

aku duduk di ayunan usang, agar ayah menjemputku.

"selamat tinggal"



Dug......Dug......Dug...

Aku bisa merasakan detak jantungku. Tubuhku sudah sangat lemah dan kaku akibat udara yag digin. Darahku mengalir dan menetes membasahi rumput - rumput kesayangan ibu yang sudah bersemak. Aku benar benar sudah siap.

Serpihan salju mulai berjatuhan, semakin lama semakin banyak. Aneh, apakah akan ada badai. Serpihan salju tersebut perlahan menyatu dan mengeluarkan cahaya.

"Mungkin aku akan segera mati" pikirku,

Setelah mengeluarkan cahaya, salju tersebut mulai berbentuk seperti seorang anak kecil laki laki. Rambut hitamnya yang berantakan, kulitnya yang putih dan pipi yang memerah karena dingin.

"Apakah itu Ishan, adikku? kau datang menjemputku?" ucapku dengan lemas.

Aku bisa mendengar suaranya berbisik seperti angin. Aku melihat wajahnya yang sedih menangis bagaikan gerimis.

"Kak..., kami sudah bersama kakak selama ini.., ibu sudah sering menitipkan pesan pada angin, ayah sudah sering menyapa kakak melalui matahari, dan aku akan mendengarkan cerita kakak, kapanpun kakak berbicara setiap malam, kami semua mendengarkan. Tapi maaf kak, kami tak bisa melakukan apapun. Kakak bersabarlah, bantuan akan datang. Kami rindu kakak, tapi belum saatnya kakak menemui kami. Kami sayang kakak" ucap ishan sambil mencium keningku.

Aku dapat merasakan kehadiranya dan kecupanya yang sedingin salju. Ketika aku membuka mataku, aku mendengar suara ambulance. Aku sudah tak berbaring di ayunan, melainkan di pangkuan Elio. Aku sudah tak mampu bertanya,

"Ah, aku akan memejamkan mataku sejenak"


===================bersambung===================

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA!

GUYS JADI...

UPDATENYA TIAP SAHUR YA GAIS..

DONT FORGET TO VOTE AND READ MY NEXT STORIES.

THANKYOU SO MUCH FOR THE SUPPORT AND VOTE.

LOVE Y'ALL..


The weather's DilemmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang