"Saya dengar-dengar, juru masak dapur sudah dipenggal, Nona."Lana sedikit terkejut mendapati jika Jeffrien bukanlah sosok yang menaruh racun pada makanan yang ia cicipi beberapa waktu silam. Tetapi bila memang bukan Jeffrien pelakunya, hal tersebut memang wajar mengingat bagaimana watak dari Jeffrien yang tak pandang bulu sama sekali. Setelah menaruh racun di makanan sang Jenderal tertinggi SS, siapa yang berharap mampu selamat?
"Begitukah?"
"Seharusnya mereka tidak mencari masalah dengan Tuan Jeffrien," balas Marla setelah selesai menata rambut panjang kecokelatan Lana menjadi terikat rendah berbalut tali satin biru muda.
Lana tidak membalas. Ia beralih menyentuh kain putih evening dress yang menutupi sebagian permukaan kulit tubuh. Pelita temaram berhasil mengkilaukan gaun panjang berparas padan. Ditemani berbagai jepitan bunga putih yang merajut cantik surai cokelatnya, tiada kata selain memukau yang bersedia menjelaskan pantulan sosok Lana di cermin kamar.
Wanita tersebut mengernyit pelan. Bukannya tidak suka, Lana hanya merasa tidak terlalu terbiasa melihat tubuhnya terbalut dengan sesuatu seperti ini ketimbang seragam tebal nan panas yang menunjukan identitasnya sebagai salah satu agen intelijen Amerika Serikat.
"Ada apa Nona? Apakah gaunnya kurang sesuai dengan selera Anda?" Suara Marla sontak membuat Lana menoleh sembari tersenyum kecut. Bagaimana bisa ia tidak menyukai bubuhan tangan hasil Marla? Seluruh hal yang kini menempel di tubuhnya terlihat begitu berkilauan. Tentu, hampir seluruh perempuan menyukai benda-benda berkilau.
"Bukan begitu Bibi Marla, aku hanya terlalu kagum dengan hasil karyamu ini." Sebuah untaian kata lantas memberi jalan bagi kekehan yang terdengar mengusir keheningan ruangan.
"Astaga! Ada sesuatu yang tertinggal!" Marla memekik kecil sembari membalikkan tubuh lalu membuka lemari sewarna gading yang berada ujung kamar dan mengambil sesuatu dari sebuah kotak tua. Lana terdiam untuk beberapa saat dirinya hanya dapat bertanya-tanya akan apa yang sedang Marla lakukan. Namun kemudian, ia langsung membelalak tatkala wanita paruh baya itu menghampirinya sambil tersenyum jenaka.
"Penampilanmu akan lebih cantik dengan ini," ucap Marla terselip nada sukacita. Tangan Marla yang pucat bergerak memasangkan anting berlian pada kedua sisi telinga Lana. Berkedip tiga kali, Lana nyaris menganga tidak percaya. Lihatlah seseorang di dalam kaca, apakah itu Lana yang terjebak dari dunia lain?
Beberapa ketukan di daun pintu membuat kedua pasang mata terjatuh pada asal suara, meleburkan senyuman Marla yang sempat senang tak terkira tanpa hendak mengusik keterkejutan Lana. Sontak wanita belia di samping Marla mengalihkan tatapannya ke arah jam dinding klasik yang sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima. Mengartikan jika dalam kurun beberapa puluh menit lagi, acara akan dimulai.
"Ah! Sepertinya itu Tuan Jeffrien, ayo Nona!" Marla yang sudah tersenyum sumringah menarik pelan pergelangan tangan Lana. Membuat wanita itu sedikit meremas gaunnya gugup.
Tunggu, mengapa dirinya gugup?
"Sebentar Tuan," ucap Marla lagi, seraya membuka daun pintu kamar Lana dan menatap sesosok pria menjulang di depan pintu. Senyuman silam langsung menyurut tatkala Marla malah mendapati pria lain yang berdiri di sana. "Selamat malam, Kolonel Jennof. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Marla lagi sekedar berbasa-basi.
Raut wajah Jennof yang tidak tersenyum entah mengapa membuat Marla tambah kesal. "Selamat malam. Jenderal Jeffrien sedang menghadiri pertemuan penting. Oleh karena itu, saya telah dititahkan untuk menjemput Nona Lana menuju pesta Mayor Fredrich terlebih dahulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ICARUS HAS FALLEN ✓
Historical Fiction[ wattys 2020 award winner in historical fiction ] [ 𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝; telah terbit bersama Marchen ] Memegang label sebagai intelijen Amerika Serikat, Lana yang tengah menjalani misi rahasia dengan memalsukan identitas untuk mengeruk informasi d...