liv. will sink beneath the waves

34.8K 5.7K 4.5K
                                    

Tak terhitung sudah berapa lama Jeffrien terpaku di samping ranjang sembari memperhatikan seorang wanita muda bergaun tidur putih terlelap di tengah senyap kala seberkas cahaya jingga tak terlalu benderang menembus tirai tipis jendela kamar rumah peristirahatan di Oldenburg. Sesekali perempuan tersebut bergerak gelisah namun tenang kembali tatkala Jeffrien beringsut mengelus surai panjang kecokelatannya.

Hari demi hari telah mereka lalui dengan teramat menyenangkan. Menukar cerita hingga mentari mengintip, untuk pertama kalinya tertidur di tengah hari, membakar daging sapi di tengah malam gelap dekat depan beranda rumah peristirahatan, menyesap teh hangat kala hujan turun mengguyur seisi hutan, sampai memutar piring irama klasik sembari berdansa dengan gerakan paling lambat yang pernah dilakukan.

Sisa umurnya hanya tinggal beberapa jam. Jeffrien sudah memperkirakan kapan para tentara Nazi akan menyentuh titik Oldenburg dan segera membunuhnya. Oleh karena itu, Jeffrien sedang menghabiskan waktu tersisa yang ia punya dengan memperhatikan Lana saat wanita tersebut terlelap pulas. Segala hal manis yang telah mereka habiskan sudah dirasa cukup sebagai bekal bagi Jeffrien untuk menghadapi kematiannya kelak. Kini, Jeffrien sangat ingin memandangi Lana meski hanya sekali dan untuk terakhir kali.

"Mengapa saya sangat mencintaimu, hm?" bisik Jeffrien nyaris tak terdengar. Sama sekali tak hendak membangunkan Lana, Jeffrien bergumam sendirian melalui suara terpelan yang pernah ia ucapkan keluar.

Tidak ada jawaban terlontar dari bibir seorang perempuan yang dilahap bunga tidur, seperti dugaan Jeffrien. Lantas, pria itu tersenyum tipis. Jemari kokoh Jeffrien terlabuh di atas surai halus Lana pelan-pelan, merasakan betapa lembut helaian yang membingkai pahatan wajah wanita paling ia sayang sebelum pasukan pembunuh datang.

"Saya masih ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu. Bersama keluarga kecil kita nantinya. Pergi mengunjungi sebuah toko kue paling terkenal, berjalan di pinggir kota saat musim panas datang seperti apa yang pernah kita lakukan di Munich dulu, berdiri di atas balkon tinggi sambil memperhatikan keramaian di bawah saat tengah malam tiba," Jeffrien terdiam sejenak sebab terlalu banyak potongan babak kehidupan yang belum mereka lakukan bersama, "saya ingin melakukan seluruh hal menyenangkan bersamamu. Sedikit hal menyusahkan juga tidak masalah asal itu denganmu."

Setiap untaian kata terlontar dari mulutnya membuat Jeffrien kian sadar bahwa mereka sejak awal takkan pernah bisa bersama. Jeffrien maupun Lana bukanlah manusia yang diciptakan saling berpasangan. Jeffrien paling tahu betul pasal itu. Namun entah bagaimana caranya, Jeffrien terus-menerus berusaha mengubah jalan takdir yang mengakibatkan sebuah konsekuensi terburuk saat ini hadir menghadang.

Berpisah ialah satu kata paling sanggup menghancurkan perasaan besi Jeffrien, apalagi jika menyangkut Lana. Sekarang hal paling terberat bagi Jeffrien bukanlah maut yang segera menjemput, melainkan meninggalkan Lana seorang diri dan membiarkan perempuan itu kembali hancur tanpa dirinya. Hidup mereka sungguh seperti fragmen paling menyedihkan dalam sebuah pertunjukan.

"Ketika dulu, saya percaya bahwa manusia diciptakan dapat hidup tanpa pasangan karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk egois yang pernah tercipta," tangan pria tersebut bergulir turun menyentuh sisi wajah Lana perlahan, "namun sekarang setelah bertemu denganmu, saya sadar jika itu tidak mungkin terjadi."

Teramat lekat-lekat sorot pandang Jeffrien mengamati gurat damai Lana yang belum terbangun atau sekadar terganggu akibat gumamannya. Jeffrien pun belum kunjung beranjak barangkali sejengkal saja. Ia masih di sana, melihati Lana seakan-akan ingatannya dapat berubah menjadi sebuah proyektor lawas yang mempertunjukan sosok Lana ketika ia benar-benar pergi kelak.

ICARUS HAS FALLEN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang