ICARUS HAS FALLEN ✓

xlix. they said the end is near

Berkali-kali memilin kata, bibir kemerah-merahan Aiden belum menyerah menyeret Lana untuk tetap mendengar celotehan mengenai apa yang ia lakukan semenjak pagi hingga detik ini, seakan Aiden ialah seorang sersan tingkat pertama yang tengah melapor pada perwira atasan. Mulai dari sarapan sup hangat, burung liar memasuki kamarnya ketika Marla membuka jendela, sampai rengekan bila Aiden belum menemukan keberadaan Jeffrien sedari tadi.

Kata pudar sedikit pun tak pantas tersemat di senyuman Lana yang terus merekah menjadi sosok pendengar cerita Aiden penuh perhatian meski Lana harus mengalihkan atensi sesekali ke arah depan, lorong panjang mansion sepi dan senyap. Raut perempuan itu pun tenang, seolah membopong Aiden diiringi dua telinga tersumbat cerita panjang Aiden bukanlah suatu masalah.

"Lalu siapa yang mengantarmu tadi ke ruang perjamuanku, Aiden?" Sehabis Aiden menarik napas untuk berceloteh kembali, Lana memotong bersama tajuk topik baru. Aiden termangu sejenak, tampak berpikir. Lana menipiskan bibir menahan tawa tatkala air muka yang ditunjukan Aiden seakan-akan tengah memikirkan perkara gawat.

"Paman Jen!" Berhasil mengingat nama pria tak berekspresi menyenangkan yang selalu membuat Aiden takut, akhirnya Aiden menyengir. Ternyata pria yang disebut sebagai Paman Jen itu tidak semenyeramkan perkiraan Aiden lantaran saat Aiden diam-diam keluar dari kamarnya, Paman Jen bertanya hendak ke mana dirinya dan berakhir bersedia mengantarkan Aiden menemui sang Mama.

Dua alis Lana bertaut menebak-nebak siapakah pria yang dibawa Aiden dalam percakapan barusan. Tiga sekon terlewati, Lana sedikit membulatkan mata. Mungkin Jennof adalah dalang yang dimaksud Aiden. Sontak Lana mengangguk mengerti. "Bagaimana bisa Paman Jen mengantarmu?"

Berkedip-kedip menatap Lana dengan sepasang netra besar, Aiden menjawab, "Paman Jen sedang berjalan di depan kamar." Kata-kata Aiden kian menyusun kepahaman Lana menyatu. Sepertinya Jennof sedang tak sengaja berlalu di lorong dekat kamar Aiden lalu menemukan seorang anak mungil menyelinap keluar dari kamarnya.

"Di mana Bibi Marla? Kenapa bukan Bibi Marla yang mengantarkanmu?"

Mulut Aiden bergerak manyun seolah-olah Lana baru saja menanyakan sesuatu yang Aiden kesali. "Bibi Marla pergi meninggalkanku! Bibi Marla lebih memilih dapur!"

Bibir melengkung disertai dua mata menyerupai bentuk bulan sabit terpasang di wajah Lana yang tampak tertawa. "Bukan seperti itu, Aiden. Pelayan di dapur pasti sedang membutuhkan bantuan dan Bibi Marla pergi membantu."

Memiringkan kepala, benak Aiden bertanya-tanya. "Kakak-kakak pelayan sedang butuh bantuan?" tanya Aiden penuh lugu, "Aiden dapat membantu! Karena kata Mama, manusia harus saling membantu!" ucap Aiden menggebu-gebu. Manik hitamnya berpendar disarati antusias besar.

"Baiklah. Tetapi sehabis tidur siang, ya?"

Kepala Aiden mengangguk-angguk patuh tatkala pandangan anak mungil itu beralih sebab perhatiannya ditarik oleh suara deritan bilah kayu. Mendapati pintu ruangan Jeffrien terbuka lebar ketika Jennof bergerak hendak keluar, Aiden segera mengayun-ayunkan kaki. "Turun, turun!"

Tak terlalu paham apa pasal Aiden tiba-tiba meminta turun, Lana mengernyit tipis meskipun pada akhirnya ia menurunkan Aiden yang bergerak lasak. Mungkin Aiden berniat berjalan sendiri karena kamarnya sudah di depan mata. Namun sedetik kemudian, Lana membelalak terkejut lantaran bukan memasuki kamar, Aiden justru berlari melewati Jennof lalu langsung menghilang di balik bilah pintu ruangan Jeffrien.

Lana mendadak panik sebab pukul segini di hari ini, Jeffrien sedang ditumpuki persoalan administrasi dan logistik negara. Surat-surat resmi saja kemarin terlihat berserakan di atas meja kerjanya. Apabila Aiden mengunjungi ruangan pribadi Jeffrien, bisa-bisa pria itu terganggu atau perihal paling parah ialah marah.