x. grinning like a devil

49.5K 8.1K 1.8K
                                    

Lana melepaskan semua pemikirannya dan berupaya menarik udara, mengisi kembali paru-parunya yang terasa menderu. Dentingan kedua pasang pedang kembali beradu, mengkilatkan tampilan cahaya dari tubuh tajam floret* yang terpoles tipis. Walaupun terengah-engah, ia tetap menghentakkan pedang di tangan secepat kilat, mencari celah sang lawan agar memenangkan adu tanding.

Selama beberapa hari belakangan ini, Jeffrien memang lebih sering menghabiskan waktu senggangnya untuk bermain anggar bersama Lana. Termasuk malam ini, dimana lagi-lagi wanita itu harus kembali menghadapnya untuk sekedar menemani Jeffrien dan segudang aktivitas meletihkan.

Di sela-sela pergerakan gesit perempuan itu, Lana kembali tersenyum tipis di balik fencing foil mask* yang melindungi kepalanya. Tak sengaja ia kembali terngiang akan beberapa topik pembahasan mengenai Jeffrien yang dulu kerap dibahas dalam penelitian umum seputar latar belakang petinggi-petinggi Nazi Jerman.

Hal itu tentu tak luput dari segala macam hobi yang pria ini tekuni, salah satunya adalah anggar. Setahu Lana, hampir seluruh petinggi militer Jerman selalu memainkan anggar dengan pedang sabre* yang cenderung lebih rumit untuk digunakan. Selain bentuk tubuhnya yang kaku, sabre sendiri lebih membawa keuntungan bagi pemain yang lebih tinggi dikarenakan jangkauan yang lebih leluasa dan luas. Namun kali ini, Jeffrien lebih memilih untuk memberikan kesempatan bagi pedang floret untuk menjadi senjata dalam latihan mereka yang memang sudah dikenal sebagai senjata lentur dan cukup ringan sehingga menjadi salah satu pedang yang kerap digunakan para pemula untuk berlatih.

Apa pria satu ini meragukan kualitas berpedangnya?

Suara hantaman logam kian menguarkan keguncahan di antara keduanya. Begitu menggema, memekakkan telinga. Lana memutar pinggul dan menapak cepat, melakukan gerakan pertahanan sembari menahan bobot tubuhnya. Mata perempuan itu berpendar mengkilau, udara kembali mendesak keluar dari mulut seiring dengan buliran peluh yang menemani.

Tangan Lana kembali menghantam logam yang Jeffrien genggam berkali-kali, begitu cepat dan tangkas. Dengan spontan tubuhnya berputar tatkala netra terang itu menangkap kilatan pedang Jeffrien yang hampir menyentuh pinggul kirinya. Udara terasa begitu panas, terbelenggu di antara keheningan yang dalam sekejap sirna atas dentingan menggelegar kedua belah logam panjang nan tajam.

Pedang Lana kembali teracung gesit, melakukan penyerangan bertubi-tubi yang kini menyulut seulas senyum terpatri di wajah lawannya. Jeffrien kini tahu jelas betapa ia tidak bisa lagi meragukan ketrampilan wanita tersebut dalam bermain senjata.

Secercah gagasan lantas terbesit, membuat Jeffrien dengan cepat melegarkan siasatnya. Kilatan pedang kembali bercuat ketika floret perak di tangannya berkeluk cekatan dan tegas, memutarbalikkan keadaan dengan pesat. Lengan kiri Jeffrien yang keras sontak menarik pinggul gadis di hadapannya dalam sekali pergerakan tatkala ia menemukan secelah lengah di sana, sontak membuat tubuh Lana terhuyung seiring dengan punggungnya yang menubruk dada bidang pria itu.

Embusan napas berat Jeffrien mengalun sayup-sayup. "Kamu perempuan yang menarik."

Kini Lana bergeming, tepat disaat sebilah floret berada di antara batas udara dan lehernya. "Terima kasih atas pujiannya dan selamat atas kemenanganmu, Tuan," tukas Lana kemudian, memberi seulas senyum tipis terlukis di raut Jeffrien.

Seketika rengkuhan di pinggul Lana terlepas, meninggalkannya dengan segenap perasaan yang sedikit sukar untuk dijelaskan. Dalam satuan unit timnya dulu, Lana menjadi satu-satunya perempuan yang memiliki ketrampilan bertarung yang memupuni. Bisa dibilang, hanya segelintir pria naif yang berani mengajukan diri pada Lana. Namun tanpa terlihat pelik maupun sangsi, Jeffrien mampu mengalahkan Lana seolah-olah hal itu bukanlah sesuatu yang sulit baginya.

ICARUS HAS FALLEN ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang