Part 8

846 98 9
                                    

Selamat menunggu berbuka puasa 😀

                           🌾🌾🌾

Digo menatap nanar wanita yang saat ini tampak terlelap dengan damainya, Digo hanya memperhatikan wajah pucat itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, ia terus di posisi yang sama tanpa minat menganti baju yang kini sudah berubah warna di bagian dada dan lengannya karna darah wanita di hadapannya.

"Bukan kah ini tujuan awalmu, kau pasti senang akan pemandangan ini"

" Tiidak"

"Kenapa tidak?"

" Tidak "

"Jangan bilang kau mulai lemah, hah, ayolah Digo, ingat tujuan awalmu"
" Ini yang kau mau, membunuhnya secara perlahan"
" Sebentar lagi, yaa. Sebentar lagi tujuanmu akan tercapai"
" Lihat, tubuhnya begitu lemah, lihat raut wajahnya begitu tersiksa, lihat Digo, lihat! Kita hampir berhasil. Ini menyenangkan"

" Tidaaaaaak aaaaaaahggrr" Digo berteriak kencang, selalu seperti itu dua sisi yang selalu meneriakkan hal yang ingin membuat kepalanya pecah

" Tidak sayang bangung" ucapnya mengguncang kuat tubuh Sisi

" Kau mau membunuhnya, dasar gila" seseorang masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia menyerobot masuk mendengar teriakan Digo pemilik kamar tersebut.

" Kau, kenapa lama sekali" kali ini ia berteriak dihadapan laki-laki yang baru saja masuk ke kamarnya. Dokter Ray itulah panggilang yang akrab dengan laki-laki tersebut, tak lain Dokter keluarga Alexander, Ray sendiri generasi ke dua dalam keluarganya yang mengebadikan diri di keluarga Alexander. Karna umur tak  begitu jauh jaraknya dengan Digo, jadilah mereka kadang berlaku layaknya teman, ia kecil sering berada dirumah keluarga besar Digo dan mengerti akan sikap temperamen milik laki-laki itu. Mengindahkan Digo, ia langsung menjalankan tugasnya.

Plaaak

Sesuatu mendarat di kepala Digo berasal dari  stainless kecil di tangan dokter tersebut.

" Kau gila" teriak Digo mendapat pukulan di kepalanya, walau tak begitu berarti, namun seseorang lancang memainkan kepalanya membuatnya emosi. Ralat sepertinya ia yang kurang memahami emosinya sendiri.

" Kau yang gila" bukannya takut, Ray malah menyemprot balik Digo
" Kenapa kondisi wanita ini samapai seperti ini, dan kenapa tak kau bawah kerumah sakit"
" Ayolah tuan kau boleh menyiksanya, tapi gunakan sedikit hati manusiamu, anak ini sudah berapa lama tak kau kasih makan bodoh" geramnya
" Kalau sampai dua hari ini dia tidak sadarkan diri, langsung bawa kerumah sakit, di rumah sakit selain perlengkapan medis yang memadai, dia juga akan mendapat penangannya yang cepat" kini Ray memperhatikan wajah terdiam Digo, ia seperti melihat  alm. Ayah Digo, orang yang ia panggi om, beginilah ekspresi omnya kala tantenya lagi sakit, tepat seperti Digo saat ini, ia tak meyakini, namun apa boleh ia jadi cenanyang saat ini, Digo sudah jauh dari rencana awalnya. Jika kalian bingung kenapa Ray tau, karna ia sudah mengetahui lama rencana Digo, walau tidak sedekat tiga sahabatnya, namun Ray juga tidak sejauh itu sehingga tidak tau apa yang di lakukan anak orang yang berjasa dalam hidupnya tersebut.

" Yang mati takkan hidup lagi, itu sudah ketentuan Tuhan yang tidak bisa di rubah manusia sekuat apapun kekuasaannya, sudah fitrahnya seperti itu" Digo tak bergeming  mendengar ucapan Ray
" Bukannya tujuan awalmu hanya membuat runtuh kekuasaan ayahnya, dan kau sudah berhasil,  tapi mengapa bertindak sejauh ini, aku takut kau menyesal dikemudian hari" " Aku bukan ahli jiwa tapi akupun yakin, kau yang selalu bersamanya pasti tau dia berbeda"
" Tidaklah di katakan pemenang jika menindas yang lemah Digo, hanya pecundang yang melakukan hal itu"

" Kau mengatakan aku pecundang" nada tidak suka jelas terdengar di suara Digo

" Tidak, tapi kau sendiri yang mengatakannya lewat keadaan wanita ini"
" Aku bukan orang baik, karna nyatanya aku tau rencana kalian tapi yang kulakukan hanya diam, karna menurutkut Atmaja pantas, tapi aku tak bisa untuk diam akan kasus wanita ini, karna aku tak ingin kau menyesal di kemudian hari"
" Kau tau, aku sudah menjagamu sejak umurmu lima tahun, aku tak bisa diam dan terus tutup mata akan apa yang kau lakukan" Digo kembali menatap Sisi dalam, tatapannya kosong, untuk beberapa saat keduanya terdiam.

" Kau mengingatkanku pada Om kala penyakit tante kumat" ucap Ray mengalihkan pandangn Digo, Ray tersenyum pelan
" Ganti Bajumu, setelahnya aku akan memeriksa tanganmu" Ray tau sesuatu terjadi pada tangan kanan Digo. Digo tak menjawab, namun kakinya berlalu menuju kamar mandi. Ray pamit setelah mengecek keadaan tangan Digo, berpesan untuk segera mengabarinya kalau terjadi sesuatu pada istri laki-laki itu.

Sampai pagi Digo tak pernah beranjak dari tempat duduknya, ia juga tidak pernah memejakan matanya, banyak hal yang kini di kepalanya, topik utamanya adalah Dirga dan ucapan Ray, namun lebih dari keduanya, Sisi wanita yang menjadi istrinya adalah hal yang paling mendominasi di kepalanya. 

Disisi lain Dirga hanya terdiam mendengar apa yang di katakan Will, dari awal ia tak percaya dengan dokter tua itu, itulah mengapa ia kembali menemui laki-laki di hadapannya, jika sebelumnya ia seolah mempercayai apa yang di katakan laki-laki di hadapannya, namun tidak kali ini.

" Kenapa kau tak mengatakan ini sejak awal" itulah yang ia katakan namun ucapannya tampak tak bersahabat

" Karna om yakin Sisi sudah ditangan yang tepat" walau berusaha menormalkan suaranya, namun Dirga bukanlah orang bodoh, instingnya kuat dalam membaca lawan bicara, entah itu suara, raut wajah ataupun bahasa tubuh.

Dengan gerakan cepat laki-laki itu mencengkram kuat kerah baju Dokter di hadapannya, tak memandang jika umur laki-laki itu jauh diatasnya. Dokter Will, laki-laki itu paham betul siapa yang dihadapannya saat ini, ia sudah mengenal laki-laki itu sedari kecil.

"Cepat katakan apa yang tidak aku ketahui, jangan menguji kesabaranku, om tau jika ia disia siakan lagi seperti apa ia akan menjalani hidup, sudah cukup si brengsek Atmaja dan istrinya yang menyia-nyiakan dia, jangan sampai suaminya juga brengsek" om teriaknya tetap di wajah Dokter tua tersebut
" Siapa nama suaminya" tanya Dirga kali ini sudah melepas cengkaram tangannnya, ia terkekeh kala dokter Will hanya menggelengkan kepala sebagai jawban atas pertanyaannya

"Bagaimana kau bisa tau dia mencintai Huma, bahkan namanya saja kau tak tau brengsek" Dirga kembali mengumpat semakin yakin sesuatu sudah terjadi kepada adiknya itu. Tepatnya wanita yang ia cintai

" Jika terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan, bukan hanya laki-laki itu, kaupun akan aku antar lebih cepat menuju kematianmu" ucap Dirga datar meninggalkan ruangan dokter Will, laki-laki tua itu menghembuskan napas berkali-kali, bukan tidak tau situasi seperti ini akan ia hadapi, namun tetap saja jantungnya masih tak bisa berkompromi saat menghadapi situasi yang sudah lama ia prediksi akan terjadi.

Cinta diujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang