FHM : Bagian 11

306 59 1
                                    

Sering kali jatuh cinta membuat orang buta. Tetapi, jika tiba waktu yang tepat dan bertemu orang yang tepat, kita akan menjadi manusia paling bijak menyikapi segala sesuatunya

-Fatimah, Hakuna Matata-

Hari demi hari terlewati dengan baik. Kebiasaan-kebiasaan buruk Aryan mulai tersingkir, walau belum sepenuhnya, namun bagi Aryan ini hal luar biasa. Ayolah, dia adalah lelaki yang bertahun-tahun hidup dalam maksiat, mengingat Allah saja mungkin jarang ia lakukan. Sekarang, aktifitas di setiap harinya pun berbanding terbalik dengan aktifitas Aryan sebelum-sebelumnya. Ini hebat. Aryan mulai terbiasa.

Arayn bukan tipe pemikir keras, dia justru adalah tipe cuek dan tidak pedulian terhadap omongan orang. Namun, kali ini berbeda. Efek dari perkataan Arsen tempo hari berhasil menelisik dadanya, menimbulkan sensasi keingintahuan yang membesitkan niat untuk berubah.

Pemuda itu tengah berjalan menuju ke kediaman kiyai Ahmad. Seperti biasa dia akan belajar membaca Al-Qur'an. Tidak buruk juga, pikirnya. Membaca Al-Qur'an tidak serumit kelihatannya. Sekarang, tidak perlu malam. Sore seperti ini pun, Aryan boleh berkunjung. Waktu belajarnya jadi lebih panjang, kiyai Ahmad yang menyarankan hal tersebut.

Mata Aryan memincing saat mendapati pemandangan mencurigakan. Pemuda itu menghentikan langkah, seiring tatapannya semakin menajam untuk memperjelas objek pandangan.

Arsen.

Sedang apa pemuda itu mengendap-endap ke bangunan belakang?

Memutuskan menunda perjalanannya, Aryan mengikuti pemuda tujuh belas tahun itu. Berjalan cepat dengan usaha tak menimbulkan suara, Aryan mengikuti Arsen yang kini memasuki sekat kecil antar dua bangunan asrama santri dan asrama para guru lelaki yang saling membelakangi. Kening Aryan berkerut saat melihat jalan buntu. Tentu saja ada tembok yang menjadi pembatas, sebab di baliknya adalah asrama santriwati dan guru perempuan.

Aryan menempatkan diri di balik tembok, memerhatikan pergerakan Arsen. Detik selanjutnya, matanya dibuat membola karena Arsen menurunkan satu persatu tumpukan meja dan kursi di tembok itu.

ADA SEBUAH CELAH?

Mau apa Arsen itu?

Aryan melihat lagi Arsen merogoh sesuatu di kantong celananya. Sebuah amplop. Surat?

Arsen menyerahkan surat itu dari celah tembok yang tidak seberapa besarnya, hanya muat dengan mengulurkan satu tangan saja. Aryan bisa melihat ada tangan kecil, putih mulus yang menyambut surat itu. Aryan yakin, itu milik perempuan.

"Terima kasih sudah datang." Suara Arsen terdengar, Aryan menajamkan pendengaran.

"Sama-sama, A. Emm ... a-aku pergi sekarang—"

"Astagfirullah haladzim, apa yang kalian lakukan?!"

Suara itu mengacaukan semuanya. Aryan menganga, merasa sangat kenal dengan suara itu. Fatimah?

Pemuda itu langsung keluar dari persembunyiannya, kemudian mendapati Arsen yang mematung menatap kaget padanya. Wajah Arsen pasi, matanya mebulat pucat. Aryan mendesah panjang, mendengar teguran keras dari balik tembok itu. Fatimah sudah pasti memarahi si gadis yang diduga mempunyai hal spesial dengan Arsen.

"Siapa pun di balik tembok ini. Pertanggung jawabkan tindakan kamu, segera ke kantor konseling sekarang!"

Perintah tegas dari Fatimah membuat kedua bahu Arsen melorot lemah. Aryan menghampirinya, menepuk pundak kanan cowok itu.

"Tadi siapa? Pacar lo?"

"Bukan, Bang." Gelengan Arsen melemah. "D-dia ... gue." Helaan napasnya berat. "Gue suka ke dia, Bang. Sekarang gimana? Dia pasti dapat masalah. Gue yang maksa dia, beberapa kali dia nolak ketemu, tetapi gue kekeuh pengen ngasih surat langsung ke dia. Demi supaya gue nggak sering curi kesempatan nyamperin dia saat di Madrasah, dia akhirnya setuju buat ketemuan di sini."

Mendengar itu, Aryan tahu bahwa perempuan yang di balik tembok tadi adalah perempuan yang dicari Arsen selama ini. Perempuan yang berhasil menarik pemuda itu dari lembah kemaksiatan.

Arsen mengusap wajahnya yang semakin keruh.

"Lo jelasin baik-baik ke Fatimah." Aryan menepuk pundaknya.

Arsen tetap mengangguk, walau dia tahu bahwa sulit baginya mendapatkan ampun.

****

Fatimah keluar dari kamar asramanya, hendak menuju rumah. Jam belajar Aryan bertambah dari sore hingga malam, Fatimah jadi lebih sering pulang ke pondok walau tidak menginap. Dia juga harus memikirkan Arum yang akan sendirian jika ia menginap di rumah abi dan umi.

Langkah Fatimah memelan saat melihat Laila berkeliaran di luar asrama. Laila adalah satu satu murid kesayangannya, gadis mungil nan cantik itu adalah hafidzah andalan pondok pesantren, putri dari ustadz Zulkifli selaku pendakwah aktif tanah air.

Tadinya, Fatimah ingin menegur gadis itu, namun segera ia urungkan. Tidak biasanya Laila bolos mendengar tausiyah, selain yang berhalangan haid atau yang mempunyai kepentingan sepertinya, maka semua santriwati diwajibkan ikut menyimak. Terbukti dengan keadaan asrama yang sepi, nyaris semua penghuninya berada di masjid. Bahkan Arum pun berada di sana. Beberapa santriwati yang berhalangan haid, memilih ke perpustakaan, bukannya berkeliaran apa lagi menuju belakang bangunan seperti ini.

Sebentar. Belakang bangunan?

Fatimah mempercepat langkahnya, mengikuti Laila hingga harus mengendap-endap. Ini jelas bukan hal baik.

Bermenit-menit berlalu, apa yang disaksikan Fatimah benar-benar membuatnya shock. Fatimah menutup mulutnya saat melihat, perlahan celah tembok itu akhirnya memperlihatkan sepucuk surat.

Ini tidak benar.

"Terima kasih sudah datang."

Suara laki-laki! Fatimah menegakkan punggungnya, mata bulatnya masih membola sarat keterkejutan.

"Sama-sama, A. Emm ... a-aku pergi sekarang—"

TIDAK BISA DIBIARKAN LAGI!

"Astagfirullah haladzim, apa yang kalian lakukan?!"

Laila menoleh kaget, wajahnya langsung pasi saat melihat Fatimah berjalan cepat dan menariknya menjauh dari celah kecil tembok itu.

"Apa yang sedang kamu lakukan ini, Laila? Kamu masih belum cukup paham dengan peraturan pondok?" Laila tertunduk takut. Diremasnya surat Arsen itu kuat-kuat.

"M-maaf, Ustadzah ... t-tolong maafkan saya."

"Kamu pikir peraturan pondok ini hanya bualan semata? Kami membuatnya sesuai dengan perintah Allah. Kamu sadar sudah membuat kesalahan besar, Laila?" Suara tajam Fatimah membuat isak tangis gadis itu pecah.

Fatimah menggumamkan istigfar lagi. Gadis itu menutup wajahnya yang memerah. Sedih, malu, marah, kecewa. Emosi itu bercampur, melenyapkan kontrol dirinya. Fatimah melirik amplop putih di genggaman Laila, lantas gadis itu menariknya kasar.

"Siapa pun di balik tembok ini. Pertanggung jawabkan tindakan kamu, segera ke kantor konseling sekarang!"

Fatimah menarik lengan Laila, berjalan menjauh dari sana. Sebelah tangannya yang memengang amplop itu terangkat, membaca kalimat yang tertulis di depan amplop tersebut.

Dari Arsen untuk Laila

Deretan kata sederhana itu, berhasil membakar Fatimah. Kekecewaannya memuncah. Di mana titik cacat para guru pondok ini dalam mendidik?

****

A/N : Arsen kenapa? :( do'i kobam gegara Laila nih, hehe. Bagaimana puasanya, gengs? Masih aman? Semangat terus ya!

Terima kasih untuk para pembaca yang masih setia meninggalkan vote dan komennya.



Sulteng, 06 Mei 2020

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang