FHM : Bagian 13

342 55 16
                                    

“Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku. Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar.’ Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah saw. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.’”

(HR. Bukhari dan Muslim).

-Dari Aisyah r.a kepada Hisyam bin Urwah-

****

"Oke, begini anak-anak ...." Umi Aisyah berdeham, mengambil alih perhatian keduanya. "Ada yang berbeda dari presepsi kalian. Makanya baik Aryan dan Fatimah tidak saling paham dengan maksud pertanyaan awal." Umi Aisyah tersenyum, pertama-tama menoleh kepada Aryan. "Menurut Fatimah, nafkah batin bukan seperti yang kamu maksudkan." Lalu ia menoleh lagi kepada putrinya. "Dan menurut Aryan, nafkah batin tidak seperti yang kamu pikirkan, Fatimah."

"Lalu?"

"Lalu?"

Keduanya menimpali dengan kompak. Umi Aisyah tersenyum semakin lebar.

"Jadi, nafkah batin versi Fatimah itu adalah nafkah berupa siraman rohani kepada istri. Sebagai suami, wajib hukumnya membimbing istri agar selalu berada di jalan yang Allah ridhai. Bisa bermacam-macam aktifitasnya, seperti shalat berjamaah, ngaji bareng, bershalawat, atau membacakan ayat-ayat Al-Qur'an untuk membimbing istri ke alam mimpi."

Aryan melongo mendengar itu. Melihat Fatimah yang manggut-manggut setuju, Aryan jadi berpikir kalau apa yang ada di kepala Fatimah itu sungguh berbeda jauh dari apa yang dia pikirkan. Serius, ada cewek model begini?

Umi Aisyah lalu berpaling menatap Fatimah lagi. "Nah, sementara bagi Aryan nafkah batin adalah hubungan suami istri yang telah halal di mata agama. Kamu tahu, kan maksud Umi?"

Fatimah mengeryitkan dahi. "Suami dan istri bukannya memang sudah halal melakukan apa saja?"

"Iya, benar. Nah, maksud Aryan lebih spesifik kepada hubungan yang hanya bisa dilakukan orang dewasa." Umi Aisyah nyaris putus asa menjelaskan hal ini.

Aryan mendecak, jengkel dengan loading panjang di otak Fatimah itu. "Maksudnya hubungan ranjang. Sekarang ngerti?"

Hening.

Fatimah mengerjap lambat, sementara Umi Aisyah menengok ke arah Aryan dengan gerakan kaku. Sikap menggaruk kepala dengan tampang putus asa, sudah cukup membuktikan bahwa Fatimah belum paham.

Aryan menyandarkan tubuhnya dengan kasar. "Lo serius kagak ngerti juga?" Kalau seperti ini, cara bicara non formalnya yang agak kurang ajar itu akan keluar. "Umur lo berapa?"

"21," jawab Fatimah polos. Aryan mendengus keras.

Umi Aisyah terkekeh. "Ehm ... Fatimah, sederhananya. Nafkah batin yang dimaksudkan Aryan adalah hubungan secara biologis antar suami dan istri. Ya, berhubungan badan." Ucapan itu cukup frontal.

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang