FHM : Bagian 7

362 52 11
                                    

Jika kau mencintai seseorang, biarkan ia pergi. Kalau ia kembali, ia adalah milikmu. Bila tidak, ia memang tidak pernah jadi milikmu.

-Khalil Gibran-

****

Mungkin, hakikat mencintai memanglah tersakiti. Arum merenung menatap lembaran kertas putih kosong di hadapannya. Setahun belakangan secara rutin, gadis itu mengirimkan surat setiap hari Jum'at. Surat itu ditujukkan kepada Ali. Puluhan surat sudah terkirim, namun pemuda itu tak kunjung membalas satu pun.

Ada beberapa cara untuk mengungkapkan perasaan, bagi Arum menuliskannya adalah cara yang paling efektif. Setidaknya, untuk dirinya sendiri.

Besok adalah hari Jum'at, Arum akan mengirimkan suratnya lagi. Dia tengah berpikir kira-kira apa yang harus dia katakan lagi. Niatnya menulis pesan itu, terurung saat pintu kamar terbuka. Fatimah tersenyum ke arahnya, membawa Al-Qur'an dan Iqro di depan dadanya.

"Dari rumah, Fat?"

Gadis itu mengangguk, meletakan Al-Qur'an dan Iqro di atas nakas. "Kamu mau nulis apa, Rum?"

"Eh?" Arum lekas menyembunyikan kertas dan alat tulisnya. "B-bukan apa-apa kok."

"Ah, yang benar?" Mata Fatimah memincing, kemudian senyum menggoda perlahan terbit di bibirnya. "Mau buat surat untuk lelaki yang kamu sukai itu? Duhh, sudah surat-suratan begini."

"Bukan, Fat! Aku hanya mau berkirim surat ke Umi sama Abi kok," kata Arum mengelak. Gadis itu memalingkan wajahnya, tak sanggup membalas tatapan Fatimah. "Omong-omong kamu jadi mengajari Aryan baca Al-Qur'an?"

"Iya jadi." Fatimah duduk di ranjangnya. "Tidak terlalu sulit sebenarnya, dia kenal huruf-huruf hijaiyah, tapi gerutuannya itu bikin repot."

Arum terkekeh. "Sering bikin kamu stres pasti. Kenapa abi ingin kamu yang mengajari Aryan?"

"Karena aku guru Qur'an Tajwid, mungkin?"

"Oh, ya?" Arum bertanya tak yakin. "Aku merasa abi justru senang melihat perangai Aryan. Maksudku, abi tidak pernah benar-benar murka. Apa abi sedang berencana menjodohkan kalian?"

Fatima membeliak kaget. "Apaan sih, Rum! Kamu lupa ya, ada lamaran ustadz Ali yang masih harus dipertimbangkan abi."

Mendengar itu, senyum Arum perlahan meluntur. Hanya sebentar, lalu ia kembali memasang senyum selebar mungkin. "Bukan abi yang harus mempertimbangkannya, tetapi kamu, Fat. Lagian kenapa sih kamu tidak langsug menerimanya saja?"

Fatimah merenung sejenak. "Aku merasa tidak bisa mengimbanginya, Rum. Ustadz Ali laki-laki hebat, soleh, mapan. Aku takut tidak bisa menjadi perempuan yang tepat untuknya."

Ada berbagai emosi yang menyusup ke dada Arum, yang jelas semuanya mengarahkan ke satu perasaan. Sesak.

"Kamu perempuan hebat, Fat. Solehah, kamu juga cantik dan berakhlak baik. Aku rasa justru kamu perempuan yang tepat mendampingi Ali."

Fatimah berpaling menatap Arum. Wajahnya terlihat serius. "Kamu orang yang lebih dulu mengenal ustadz Ali, Rum. Bahkan saat umur kita belasan tahun dan kali pertama mengenal ustadz Ali, aku pikir dia menyukaimu."

"Kenapa begitu?" tanya Arum kaget.

"Ya. Kalian terlihat dekat. Ustadz Ali mengenalmu dengan baik, kelihatannya dia juga perhatian ke kamu. Makanya, saat lamaran pertama aku benar-benar terkejut. Selama ini aku menyangka kedekatan kalian mengartikan sesuatu yang lain."

"Kamu salah paham." Arum menyebunyikan getar suaranya dengan baik. "Sejak awal, Ali memang menyukaimu. Dia menyukai perempuan sepertimu, Fatimah."

"Sejauh kamu mengenal ustadz Ali, menurutmu ... kenapa dia menyukaiku?"

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang