FHM : Bagian 8

380 51 4
                                    

Jodoh itu memang unik. Letaknya jelas di depan mata, namun diberikannya fokus di seberang sana. Selucu itu sehingga harus menyakiti segelintir hati.

-Fatimah, Hakuna Matata-

Ali menyiapkan beberapa bajunya ke dalam tas ransel yang akan ia bawa menuju kota kelahiran. Kemarin ia mendapat kabar bahwa kakak perempuannya sudah melahirkan, tambah lagi kondisi ibunya sedang sakit. Kepulangannya untuk satu minggu ke depan mungkin akan sedikit membuat ibunya terhibur dan bisa lebih cepat sembuh.

Masih sembari memasukan beberapa baju ke dalam tas, seseorang menghampiri kamarnya yang dibiarkan terbuka.

"Assalamu'allaikum, Ali." Zain, salah satu teman sekamar Ali masuk dengan senyum misterius dan sepucuk amplop di tangannya.

"Wa'alaikumsallam, Za. Ada apa?"

Belum sempat Zain menjawab, dua teman lainnya yang merupakan para guru di pondok itu menyusul masuk seakan tahu apa yang akan Zain paparkan nantinya. Pandangan Ali menelisik, menemukan sepucuk amplop di tangan Zain. Samar, Ali menghela napas.

"Surat lagi, kan?" Aldo mengambil amplop itu dengan tanpa permisi. "Wah, Ali. Ini surat ke berapa?" lanjutnya terkekeh takjub.

Surat itu berpindah lagi ke tangan Fadli. "Kawan kita satu ini benar-benar famous. Penggemarnya bukan hanya yang terang-terangan, tetapi yang diam-diam juga."

"Apaan!" Ali mendengus dan merebut surat itu dari tangan Fadli. "Orang yang mengirim surat ini pasti salah menilaiku. Mana ada perempuan yang sejatuh cinta ini pada seseorang, dan bahkan dia tidak pernah berani mengatakan siapa dia sebenarnya. Apa masuk akal?"

"Masuk akal," timpal Fadli menyeringai dan mendapat persetujuan dari dua lelaki lainnya lewat anggukan kepala. "Seorang perempuan pasti akan sangat rapat menyembunyikan perasaan mereka. Cinta dalam diam seperti Syyaidatinah Fatimah binti Muhammad kepada Syyaidina Ali bin Abi Thalib."

"Tapi jangan berharap jika itu Fatimah," seloroh Zain cepat. Ali menatap temannya itu sebal lalu menghela napas jengkel. "Justru orang yang paling pengecualian di sini adalah Fatimah."

"Kenapa begitu?" Ali bertanya sewot.

"Apa mungkin perempuan seperti Fatimah mengirim surat mengatakan cintanya kepada lelaki yang jelas mencintainya bahkan bernkat baik meminang?" jelas Zain dengan nada kalem dan bijak. Pemuda berkumis tipis itu bersidekap. "Bahkan, jika memang itu Fatimah mana mungkin sampai sekarang lamaranmu masih ditagguhkan?"

"Jangan bahas lamaran!" cetus Ali kesal.

"Maaf deh," kata Zain santai.

"Apa tidak sebaiknya kamu balas surat itu, Li?" Aldo menyarankan. "Mungkin dengan begitu, dia bisa mengaku."

"Tidak." Ali duduk di kasurnya, memandangi surat itu. "Jika aku balas maka akan terjalin komunikasi antara aku dan dia, artinya kami benar-benar hanya berduaan tanpa ada penengah. Ini bahaya. Aku tidak mau setan bergembira dengan kecerobohanku memberinya celah."

"Ya, kamu memang seperti itu." Aldo bergumam sembari mengangguk-angguk. Bodoh sekali dia, pastinya Ali akan menolak saran itu. Pemuda yang sudah menjadi rekan kerjanya selama dua tahun ini terkenal dengan akhlak terpuji dan menjadi pilihan nomor satu sebagai menantu idaman para ustadz senior bahkan para kiyai pengurus pondok, termasuk kiyai Ahmad. "Berarti kali ini kamu biarkan lagi?"

"Tentu." Ali memasukkan amplop itu ke dalam ranselnya lalu menarik resleting tas itu. "Aku akan segera berangkat ke Bogor."

"Sudah pamit Fatimah?"

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang