FHM : Bagian 12

317 57 4
                                    

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri ( bujangan ) di antara kalian dan orang-orang shaleh diantara para hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam keadaan miskin, Allah-lah yang akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya"

[QS. An-Nur (24): 32]

****

Ruangan berukuran 4 x 4 itu terasa lebih mencekam. Dua orang remaja berbeda jenis kelamin tengah duduk di kursi lipat dengan masing-masing kepala tertunduk, sementara seorang permpuan dan pendiri pondok pesantren sedang duduk berseberangan dengan dua remaja itu. Aryan menyaksikan hal tersebut dari ujung meja cokelat persegi panjang yang menjadi pemisah antara empat orang itu.

"Jadi, siapa yang bisa menjelaskan maksud dari surat ini?" tanya Fatimah datar sembari meletakan surat itu di atas meja. "Lalu apa maksud keberadaan kamu di sini, Aryan?"

"Saya hanya kebetulan mengikuti Arsen. Awalnya saya ingin ke rumah Kiyai, tetapi curiga dengan pergerakan Arsen, makanya saya ikuti dia dulu."

Fatimah menghela napas. "Jadi, kalian berdua! Siapa yang akan menjelaskan?"

"M-maafkan saya ustadzah." Suara pelan Lila terdengar. "S-saya ... s-saya tidak bisa—"

"Aku tidak ingin mendengar permintaan maafmu dulu, Laila. Aku ingin penjelasan," tukas Fatimah tegas.

Kiyai Ahmad memegang pundak anak sematawayangnya itu untuk menenangkan. Dia mengerti kenapa Fatimah berubah emosional. Selain memang shock dengan adanya kejadian seperti ini, Laila adalah salah satu hafidzah kebanggaan Fatimah. Sejatinya, perasaan Fatimah sekarang hanyalah sebuah kecewa yang biasa seorang guru rasakan ketika gagal mendidik muridnya.

"Laila ... bisa kamu jelaskan dulu mengapa kamu bisa sampai ke perbatasan belakang dan melakukan hal itu?" Terjadi hening panjang, sehingga Kiyai Ahmad kembali melanjutkan, "Bukankah tidak apa-apa jika mengobrol di sekolah? Kalian bisa minta ditemankan siapa saja agar tidak berduaan. Kalau seperti ini, kesannya kalian ingin menjalin hubungan sembunyi-sembunyi hanya berdua."

"Maaf ...." Laila memcicit, meremas ujung khimarnya yang mulai dibasahi air mata. "S-sebenarnya ini pertemuan pertama kami. Selama ini saya selalu menghindari Aa, tapi ... tapi saya merasa tidak enak. Sampai suatu ketika Aa Arsen meminta saya bertemu, katanya akan memberikan surat." Laila terisak.

Kiyai Ahmad kini mengubah pandangannya ke arah Arsen. "Ada sanggahan Arsen? Atau ingin menambahkan?"

"Saya ingin melanjutkan. Sudah beberapa kali Laila menolak, tetapi saya bersikeras karena apa yang ingin saya sampaikan termasuk sesuatu yang besar. Saya tidak ingin orang lain tahu, untuk itulah saya merasa surat adalah jalan yang tepat," lanjut Arsen. Menghela napas panjang. "I-ini bukan salah Laila. Jadi ... saya mohon kepada Kiyai dan Ustadzah agar tidak memberikan hukuman kepada Laila. Sembunyikan hal ini, sa-saya mohon ...."

Kesungguhan di sorot mata Arsen itu terbaca dengan jelas oleh Aryan. Diam-diam pemuda itu mendesah, melihat ekspresi wajah Fatimah yang datar, perasaannya jadi tidak enak.

"Kalau saya boleh berpendapat, saya setuju untuk menyembunyikan kasus ini. Imbasnya tidak terlalu baik untuk keduanya," kata Aryan menyuarakan pendapat.

Kiyai Ahmad mengangguk. "Kalian tahu sudah melakukan kesalahan, kalian tidak boleh menghindari hukuman."

Dua remaja itu mengangguk dan menyuarakan persetujuan. Kiyai Ahmad menoleh ke arah Fatimah, menanyakan pendapat putrinya itu. Fatimah masih diam, tangannya mengambil surat yang tergeletak di atas meja, matanya bertemu tatap dengan Arsen yang berekspresi was-was.

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang