FHM : Bagian 17

360 55 4
                                    

"Lihatlah diriku, sebuah kata yang bermakna samar-samar dan membingungkan. Kadangkala tak bermakna kadangkala bermakna banyak"

-Khalil Gibran-

****

Kunjungan Fatimah dan Arum tak berlagsung lama. Selain karena kondisi Aryan yang sudah membaik, keberadaan Arsen dan Laila dirasa cukup untuk merawatnya. Sepanjang pertemuan mereka, Fatimah lebih banyak diam. Gadis itu hanya sesekali tersenyum, mengangguk, kemudian menggeleng. Arum pun sama. Gadis itu tidak banyak mengeluarkan respons, malah ia cenderung berbicara akrab bersama Arsen dan Laila saja.

Kebungkaman Fatimah berlangsung hingga dirinya sampai di rumah. Perempuan itu bahkan belum menjawab pertanyaan Abinya tentang kondisi Aryan.

"Abi, apa Fatimah boleh meminta sesuatu?"

Kiyai Ahmad mengeryit. "Apa?"

"Fatimah tidak ingin mengajari Aryan mengaji lagi. Bukan karena Fatimah tidak ingin membagi ilmu, tetapi ada alasan lain."

"Alasan lain?" ulang Kiyai Ahmad. "Alasan apa?"

"Arum ...." Fatimah menatap Abinya dengan binar yang sedikit meredup. "Dia menyukai Aryan."

"Lantas apa hubungannya dengan kamu yang menjadi guru qirotul qur'an untuk Aryan?" Fatimah membisu. "Kamu takut Arum cemburu?"

"Ya ...." Fatimah menjawab gamang.

"Kamu takut Arum cemburu, atau kamu yang takut cemburu?"

"Maksud Abi?"

"Tidak, lupakan. Ya, sudah. Sepulang dari rumah sakit, Aryan biar Abi yang urus."

"Baiklah."

Tanpa keduanya sadari, Ali tengah berdiri di teras rumah itu, mematung dengan wajah yang pasi. Pemuda itu berbalik, melangkah lebih jauh dari kediaman pendiri pondok pesantren itu.

Ali mempercepat langkahnya menuju asrama para santriwati. Pemuda itu berdiri di lantai bawah yang merupakan ruang tamu umum untuk asrama, dia memanggil seseorang.

"Yati!"

Gadis belia berkerudung putih itu menoleh terkejut. "Ustadz?" Ia mendekat. "Ada apa, Ustadz sampai datang ke asrama?" tanyanya bingung.

"Tolong kamu pergi ke asrama para ustadzah, cari ustadzah Arum dan sampaikan saya menunggu di taman depan masjid. Sekarang!"

"Baik, Ustad!" Yati langsung bergegas melaksanakan perintah Ali, sementara Ali sendiri melangkah keluar menuju taman masjid.

Ada sebuah bangku panjang yang tersedia di sana. Biasanya bangku itu ditempati para santriwati untuk bersantai. Terdapat dua sisi, dan masing-masing digunakan hanya untuk para santriwati. Santri laki-laki tidak diperbolehkan, kecuali punya keperluan mendesak sebab bangku taman itu termasuk dalam area akhwat. Berbeda halnya dengan guru-guru pondok itu, selagi ramai dan ditemani oleh orang lain, maka biasanya tempat tersebut digunakan untuk mengobrol. Selain terbuka, pada sore hari seperti ini banyak santriwati yang berlalu-lalang atau menetap, bersantai sembari menghafal Al-Qur'an di taman itu.

"Assalamu'allaikum, A."

Ali segera berdiri saat mendengar suara itu. Kepalanya menoleh cepat ke belakang. "Wa'alaikumsallam, Rum. Duduk dulu, biar aku yang berdiri."

Arum patuh, duduk di bangku taman bercat putih itu, sementara Ali berdiri di hadapannya dengan posisi agak serong di samping kiri.

"Ada yang ingin aku tanyakan," kata Ali memulai. "Tadi aku tidak sengaja mendengar obrolan kiyai Ahmad dan Fatimah. Katanya kamu menyukai Aryan?"

Fatimah, Hakuna Matata [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang