Part 1. Kisah Cinta Putri Raja

262 67 14
                                    

Semilir angin sore, suara kicau burung yang beterbangan menambah syahdu suasana menjelang petang ini. Kupu-kupu beterbangan kian kemari menghisap madu sang bunga. Di pojok istana, terdapat serambi yang hanya ditempati oleh mereka berdua, pangeran Rana Malik dan tuan putri Dyah Prameswari.

Pangeran mendekati bunga setaman itu, memetik beberapa kuntum bunga warna-warni, menghisap wangi bunga dengan seksama dan mengikatnya menjadi dua bagian. Dengan langkah cepat, sang pangeran menghampiri tuan putri. Pangeran melipatkan kaki, menunduk mempersembahkan seikat bunga pada tuan putri, sambil berkata, "Aku mencintaimu wahai tuan putri, Dyah Prameswari. Aku akan bicara dengan paduka raja untuk mempersuntingmu," ucap sang pangeran.

Sedang sekuntum bunga lainnya, sang pangeran meletakkan di telinga kanan tuan putri. Pangeran Rana Malik namanya. Putra pertama dari Raja Amir Malik.

Telah lama dua sejoli itu bersama memadu kasih. Namun, baru kali ini sang pangeran mampu mengungkapkan isi hatinya. Pangeran segera memohon pada Raja--Ayahandanya--untuk meminang tuan putri Dyah Prameswari sebagai permaisurinya. 

Mendengar penuturan sang pangeran yang amat ia cintai, Dyah Prameswari sangat senang. Suasana ini sudah ia tunggu sebenarnya dari beberapa tahun lalu. Rasa malu, bahagia dan berbunga hatinya tak mampu ia tutupi. Jika tak melihat posisinya sebagai tuan putri dari kerajaan ternama, mungkin saat ini ia akan berjingkrak dan melompat setinggi mungkin. Supaya dunia tahu, betapa bahagianya ia saat ini.

"Apakah Tuan Putri menerima cinta tulusku?" tanya pangeran.

"Jika ia, sambutlah tangan kanan ini dan kita pergi jalan-jalan berdua. Jika Tuan Putri menolaknya, sambutlah tangan kiri ini dan masuklah ke istana," sambung pangeran lagi sambil mengangkat kedua tangannya.

Dyah Prameswari tak mampu menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangkat tangan kanan, meletakkan di atas tangan kanan sang pangeran dan menggenggamnya erat. Seolah tak ingin ia lepaskan lagi. Seperti beberapa bulan lalu.

"Terima kasih, Tuan Putri. Mari kita pergi ke suatu tempat istimewa. Aku sudah mempersiapkannya untukmu."

"Tunggu, Pangeran! Bagaimana dengan Putri Gayatri, sepupuku yang tentu Pangeran tahu, ia menyimpan rasa untukmu. Rasa cintanya padamu pun teramat dalam," jawab Tuan Putri.

"Sejujurnya aku ragu menerima cintamu, karena aku tak mau hubungan darah dengan Putri Gayatri akan hancur," imbuhnya lagi.

"Lupakan! Aku sudah memilihmu dan akan segera meminangmu," jawab sang pangeran penuh meyakinkan.

"Mari, Tuan Putri. Aku akan membawamu ke suatu tempat," ajaknya.

"Terima kasih, Kakanda. Mulai sekarang, panggil aku Adinda," pinta Dyah.

"Baiklah. Mari, Adinda," ajak Rana.

Surjan yang pangeran kenakan menutupi badan, ditambah lagi keris yang selalu ada di punggung pangeran serta mahkota yang menghiasi kepala, menambah gagah sang pangeran. Ksatria dan putra kebanggan Raja Amir Malik.

Sedang pakaian kerajaan putri berwarna coklat tanpa lengan dan jarik yang menutupi sampai lutut dengan warna senada yang Dyah kenakan, rambut terurai panjang dan mahkota yang menempel di kepala, menambah cantiknya penampilan Dyah Prameswari.

Segalanya telah pangeran siapkan untuk memberi kejutan pada ratu hatinya. Menaiki kuda yang gagah, mereka pergi ke tempat yang pangeran janjikan, sebuah danau. Rana Malik menjalankan kudanya menembus semak belukar di hutan. Sebagai lelaki perkasa, ia senantiasa menjaga Dyah Prameswari, memerintahkannya duduk di kemudi depan.

Kini, tak ada jarak sejengkal pun di antara mereka. Wangi tubuh Dyah tercium lekat oleh Rana. Terlebih kedua tangan Rana yang mengemudikan kuda, sambil memeluk Dyah tentunya. Jiwa lelaki normal Rana tergugah, munafik jika ia tak berpikir secara intim. Terlebih, Rana terkenal dengan sebutan sebagai pangeran mata keranjang yang sering berganti pasangan.

Dagu Rana yang tumbuh sedikit brewok menempel di pundak Dyah. Geli, tapi Dyah pun menyukai. Hidung bangir Rana kini berada di samping kanan Dyah, hanya berjarak satu senti saja. Sekali saja Dyah menghadap sisi kanannya, saat itu pula bibir mereka menyatu.

Cuaca di langit terlihat sangat mendung. Bahkan sebentar lagi kegelapan menyapa. Namun, mereka belum juga sampai di tempat yang dijanjikan Rana. Dyah sempat menolak dan meminta untuk kembali. Namun, Rana tetap meyakinkan akan senantiasa menjaga dan melindunginya. Hingga gerimis mulai menyapa.

"Hujan mulai lebat, Kakanda. Apa nggak sebaiknya kita pulang ke istana saja. Ayahanda pasti sudah menunggu," pinta Dyah ketika hujan mulai deras.

"Aku sudah meminta izin tadi pada prajurit untuk menyampaikan ke Raja. Lagi pula, hubungan kita sudah lama tercium oleh Raja dan beliau merestuinya. Percayalah padaku, tak ada yang perlu dikhawatirkan, Adinda," jelas Rana menenangkan.

Rana melihat sebuah gua tak berpenghuni di tengah hutan belantara. Dia mengemudikan kuda supaya mendekati mulut gua dengan cepat. Beruntung, mereka sampai sebelum basah kuyup. Sampai di dalam gua, Rana segera membuat percikan api dari batu. Semasa kecil hingga remaja, Rana menimba ilmu beladiri pada empu kerajaan. Ternyata dalam situasi ini, ilmu itu akan sangat berguna.

Selang beberapa saat, percikan api dari batu sudah menyala. Ketika Dyah berada di depan api untuk menghangatkan badannya, Rana yang di belakang mulai melepas kancing baju satu per satu.

"Pakai ini untuk menghangatkan badanmu, Adinda," ucap Rana sambil memakaikan baju surjan miliknya.

"Terima kasih, Kakanda. Tapi aku sudah sedikit hangat dengan api ini, takut Kakanda kedinginan dan sakit nanti," sela Dyah yang terkejut melihat Rana telanjang dada.

"Tak apa, Adinda. Lelaki harus melindungi perempuannya. Aku tak akan membiarkanmu dalam kedinginan, Adinda," rayu Rana.

Lagi, Rana membuat hati Dyah terbang melayang. Memang pandai dia sebagai lelaki untuk merayu dan membuat nyaman wanitanya. Langkah kaki Rana menuju Dyah, dia membelai rambut lembut Dyah dan pipi mulusnya. Tangan Rana menyentuh bibir ranum Dyah, memainkan jarinya di sana.

"Kau sangat cantik, sungguh. Menualah bersamaku. Tetap di sini, sebagai ratu hatiku," ungkap Rana sambil mengangkat tangan Dyah ke dada bidangnya.

"Pasti, Kakanda. Aku pun sangat mencintaimu," ucap Dyah mantap.

Dyah menjatuhkan kepalanya di dada bidang Rana yang telanjang. Detak jantung Rana yang memacu tiga kali lipat, sangat terasa oleh Dyah. Kedua tangan Dyah melingkari tubuh Rana, memeluknya. Rana pun membalas pelukan Dyah. Mereka saling memberi kehangatan satu sama lain.

Rana mulai meraba bagian leher Dyah, menyibakkan rambut panjangnya, membuka satu per satu kancing baju Dyah. Melepaskan jarik yang menutupinya sampai ke lutut. Rana mulai mengecup manis bibir Dyah dan mereka menikmati malam berdua di dalam gua. Bunyi kelelawar yang beterbangan turut serta menemani malam ini. Hujan lebat di luar sana menambah syahdu suasana, sebagai alasan tepat mereka untuk menginap malam ini di dalam gua.

Suasana sangat dingin dan mencekam di luar maupun di dalam gua. Tetapi Rana dan Dyah mandi keringat malam ini. Sungguh mereka telah melakukan perbuatan laknat, hanya menjilat kenikmatan sesaat tanpa berpikir jauh ke depannya. Ketahuilah, bahwa dua insan yang memadu kasih di tempat yang sepi, orang ketiga adalah setan yang terkutuk.

***

Khodam Pangeran GanjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang