Part 14. Pulang

44 23 6
                                    

Selasa, 12 Mei 2020

Happy reading dan semoga suka.
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya, Kak. Gratis kok. 😍😍

***

Kamar Dahlia nomor 14.

Kini, di sinilah mereka berada. Dien menuntun mamanya untuk menjenguk keadaan Anjani. Bukan Anjani sebenarnya yang butuh perawatan, melainkan Arsen. Namun, Andre dan Mayang selaku orang tua yang baik, sangat mencemaskan keadaan kedua putrinya. Oleh karena itu, ketika mendengar mereka berada di rumah sakit, Andre langsung menghampiri. Tanpa menunggu penjelasan Dien lebih lanjut.

"Anjani? Kamu kenapa, Nak? Mana yang luka? Mana yang sakit? Kamu nggak apa-apa 'kan, Nak?" cecar Andre sambil mengecek keadaan tubuh Anjani, takut ada yang tergores. Bahkan, baju dan keadaan tubuh Anjani sangat tidak memungkinkan. Baju begitu kotor dan dekil. Muka dan rambut yang acak-acakan.

Itulah Andre. Lelaki tampan, mapan dan bertanggung jawab pada keluarga tercintanya. Kasih sayang ia curahkan sepenuhnya untuk istri dan kedua putrinya. Mayang pun memegangi puncak kepala Anjani, mengecek pipi, tangan dan melakukan apa yang seperti Andre lakukan. Hanya memastikan supaya Anjani baik-baik saja.

"Tanyanya satu per satu dong, Pa. Papa kaya wartawan aja," sungut Anjani yang kesal dengan perlakuan orang tuanya.

"Kalian tuh berhasil bikin Papa sama Mamamu ini senam jantung."

"Eh, tunggu ... tunggu. Dia siapa, Sayang?" tanya Mayang yang baru menyadari kehadiran Arsen.

"Papa, Mama, kenalin ini Arsen, temen Anjani di kampus. Dia yang tadi menolong Anjani dan Dien saat kami diculik. Arsen, kenalin ini Papa sama Mama aku," jelas Anjani sambil memperkenalkan mereka.

"Arsen, Om, Tante." Arsen mengulurkan tangan, menyalami kedua orang tua Anjani dan mencium punggung tangannya dengan takdzim, penuh kehormatan. Andre dan Mayang pun menyalami Arsen bergantian.

"Apa? Kalian diculik?" tanya Andre dan Mayang bersamaan. Mereka sangat terkejut mendengar kenyataan ini. Sangat.

"Iya, Pa. Tapi beruntung ada Arsen yang membuntuti kami. Dia dipukuli penculik itu sampai babak belur gini, Pa. Kasihan dia. Makanya aku paksa dia berobat di sini, walau tadinya dia menolak. Nggak apa-apa 'kan, Pa?" tanya Anjani, dia meminta izin pada Andre. Karena yang Anjani tahu, kedua orang tuanya melarang putrinya untuk berdekatan dengan lelaki. Belum waktunya, masih kecil. Itulah alasan mereka.

"Enggak apa-apa kok, Sayang."

Sedangkan Arsen, dia menjadi pendengar setia antara Anjani, Dien dan orang tuanya. Begitu sangat sayangnya Andre dan Mayang pada Anjani dan Dien. Arsen bahagia berada di antara mereka. Dia memerhatikan Anjani saat berbicara, memandangi indahnya ciptaan Tuhan di depannya ini.

"Semoga saja suatu saat nanti aku bisa memiliki, Anjani. Dan berada di tengah-tengah kalian. Keluarga yang saing menyayangi," gumam Arsen. Namun, kata-kata itu masih didengar jelas oleh Andre.

"Apa kamu bilang? Coba ulangi lagi," pinta Andre pada Arsen.

"Apa, Om? Eng ... enggak apa-apa, Om."

Arsen menjawab dengan gugup. Tiba-tiba telapak tangannya berkeringat dan berubah dingin. Dia sangat gugup. Untung saja Arsen bisa menguasai keadaan.

"Arsen sudah diobatin kan? Kalau gitu, Papa ke ruang administrasi dulu. Terus kita pulang. Udah malem gini. Nanti Arsen kita antar ya," kata Andre.

"Eng ... enggak usah, Om. Aku bisa pulang sendiri," jawab Arsen masih dengan rasa gugupnya.

Andre yang sudah hampir mencapai pintu keluar, tangannya yang hendak memegang handle pintu, tiba-tiba berhenti mendengar penolakan Arsen.

Khodam Pangeran GanjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang