Part 12. Diculik

59 30 11
                                    

"Kakak! Lepasin! Tolong ...."

"Diem kamu bocah atau akan aku beri pelajaran untukmu."

"Salah kami apa, kenapa kalian sejahat ini hah!" Dien masih berteriak tak jelas. Memandang sang kakak sambil menangis dengan raut muka memelas. Memohon pada preman itu untuk melepaskan mereka.

"Salah kalian, karena kalian terlalu cantik hingga aku tergiur oleh kemolekan kakakmu. Hahahaha ...."

Kedua tangan Dien ditarik paksa kebelakang oleh sang preman. Dia pun akan dipaksa masuk ke dalam mobil. Mau tidak mau, Dien menuruti perintah mereka. Daripada ia harus meninggalkan kakaknya sendirian, lebih baik ia menuruti perintah preman itu.

Saat Dien masuk ke dalam mobil, preman itu tak menyangka ada sepasang mata yang sedang melihat adegan paksa itu.

"Itu kan mobil Anjani. Kenapa itu? Bodohnya aku kenapa tadi berhenti beli bensin dan minum dulu. Jadinya gini kan. Shit!" umpat pemuda itu menyalahkan dirinya sendiri.

Ya, dia Arsen. Asisten dosen yang baru-baru ini dekat dengan Anjani. Semua penghuni kampus pun tak menyangkal berita itu. Arsen yang tadi berniat mengantar Anjani pulang dan ditolak halus oleh Anjani. Namun, dia tak lantas melepas kepergian Anjani begitu saja. Hatinya mengatakan semua tidak akan baik-baik saja. Hingga akhirnya, Arsen mengikuti Anjani pulang, walau dengan kendaraan berbeda. Anjani yang mengemudikan mobilnya, sedang Arsen yang menggunakan motor sportnya. Ternyata feeling dan hati Arsen benar adanya. Terbukti dengan kejadian di depan mata.

"Tak bisa dibiarkan ini. Aku harus mengikutinya. Apa pun yang terjadi nanti," gumam Arsen.

Arsen mengendarai motor sportnya dengan kecepatan penuh. Demi mengejar mobil Anjani yang berada dibawah tawanan preman. Arsen akan menolong cintanya itu, walau nyawa sebagai taruhannya. Itu komitmen Arsen.

Cinta? Ya, mungkin itu yang dirasakan Arsen saat ini. Dia mulai mencintai Anjani dalam diam. Arsen merasa mendapatkan lampu hijau dari Anjani. Dia bahkan akan menyatakan perasaannya itu, lusa atau Minggu depan. Saat ini, dia akan masih tetap melakukan pendekatan dari hati ke hati dengan Anjani.

Walau dengan kecepatan seratus kilometer per jam, Arsen belum mampu menyalip mobil Anjani. Ternyata preman itu selain ahli menculik anak gadis orang, mereka juga ahli dalam hal kejar-kejaran. Arsen tertinggal dari mobil Anjani terlalu jauh karena tadi dia sempat terhenti oleh lampu merah. Namun, kedua mata Arsen selalu awas menatap kepergian mobil Anjani. Pandangan dan fokusnya tak lepas dari kendaraan roda empat milik Anjani.

Sekelebat bayangan Anjani saat senyum malu-malu tadi saat di taman kampus. Tawa Anjani, percakapan mereka, pipi merah Anjani saat tadi dirayu oleh Arsen. Bibir ranum Anjani, rambutnya yang beterbangan terkena belaian angin. Semua bayangan itu menari-nari di kepala Arsen.

Hingga ada temannya yang menyapa saat di jalan pun, dia tak menghiraukan. Lebih tepatnya, tak mendengarkan karena terlalu fokus pada keselamatan Anjani. Sekelompok teman Arsen yang menyadari hal yang tak wajar dari dirinya segera melajukan motor mengikuti Arsen.

Setelah empat puluh lima menit berlalu saling kejar-kejaran dan kebut-kebutan di jalan. Mobil yang ditumpangi oleh Anjani dan Dien berhenti di depan sebuah bangunan. Rumah yang sudah tak terawat oleh penghuninya, sarang laba-laba yang berada di setiap sudut ruangan. Halaman rumah yang tumbuh banyak rumput dan tanaman hijau. Ruangannya kosong tanpa perabot rumah, debu yang berserakan. Di sinilah kini mereka berada.

Setelah mobil terparkir sembarangan di depan halaman rumah, preman itu menyuruh paksa Dien untuk turun, keluar mobil dan memasuki rumah tua itu. Sekali lagi, Dien meronta pun tak akan menolong mereka. Dia akan menuruti perintah preman demi keselamatan kakak dan dirinya. Doa selalu ia panjatkan dalam hati. Berharap ada keajaiban Allah yang akan menolongnya saat ini.

Sedangkan preman yang satu, mengangkat tubuh Anjani memasuki rumah tua itu. Menidurkan tubuh cantik itu di sembarang tempat. Preman itu siap-siap akan menikmati tubuh Anjani yang sudah terkulai lemas tak berdaya. Dien hanya bisa meronta dan menonton kelakuan bejad sang preman.

"Tenang, Sayang. Kita pun akan bersenang-senang juga," kata preman yang mendekap Dien.

Sesaat preman itu memandangi tubuh Anjani. Begitu putih, bersih, mulus. Tak ada luka gores sedikit pun. Itu semakin membangkitkan gairah preman untuk melancarkan niat awalnya. Preman itu menyibakkan rambut yang menutupi muka Anjani ke telinga belakang. Membuat muka Anjani semakin terlihat cantik.

Ketika sang preman tengah memandangi tubuh indah Anjani, sebuah bunyi mengagetkan mereka. Pintu di dorong begitu keras. Kedua preman itu kini berhadapan dengan seorang memuda gagah perkasa.

"Lepaskan mereka atau ini," perintah sang pemuda sambil menunjukkan sebuah kepalan tangan.

"Lo mau jadi pahlawan kesiangan. Atau mau menonton aksi kita pada dua gadis ini? Hahaha ...."

"Jangan harap itu terjadi. Langkahi dulu mayatku," protes sang pemuda.

Pemuda itu, Arsen yang menyaksikan penculikan pada dua gadis ini. Negosiasi tak mampu menengahi. Maka dari itu, Arsen mulai menghajar satu per satu preman. Jangan remehkan kekuatan bela diri Arsen yang sudah di sabuk hitam itu. Bahkan, dia adalah guru karate juga di sebuah sanggar persilatan.

Melawan dua preman dengan tangan kosong sangatlah sulit. Pertarungan sengit itu disaksikan oleh Dien. Dia menyadarkan Anjani dengan memukul ringan pipi dan memanggilnya. Satu preman yang membekap Dien sudah tumbang. Walau tak mudah, tapi Arsen mampu mengalahkan mereka. Pukulan yang dilayangkan preman di muka Arsen, mampu merobek ujung bibirnya dan mengeluarkan cairan merah segar. Pipi Arsen pun tak lepas dari incaran preman, memar di mana-mana.

Arsen memang sangat lihai dalam hal persilatan. Namun, ia ceroboh hingga akhirnya tumbang. Saat Arsen terjatuh, saat itu pula temannya datang. Ternyata mereka menangkap keganjilan Arsen, hingga mereka mengikutinya diam-diam. Satu teman Arsen membantunya mengalahkan sang preman. Sedangkan satu lainnya menelepon polisi.

Tak butuh waktu lama, sebuah tembakan meletus di udara, menandakan polisi sudah datang dan meminta untuk menyudahi perkelahian ini. Dua preman diborgol polisi, dan menjadi tahanan tetap di penjara. Saat itu Anjani telah siuman dan menyaksikan semua kejadian ini. Hampir saja Anjani dan Dien mendapatkan perlakuan asusila. Berkat bantuan Arsen, ia selamat.

"Terima kasih, Arsen atas semuanya. Bantuan dan pengorbananmu sangat bermanfaat untukku. Aku tak bisa bayangkan jika kamu tak datang. Mungkin aku dan adikku sudah ...." Kata-kata Anjani terpotong oleh ucapan Arsen.

"Ssstttt!" kata Arsen sambil jari telunjuknya menyentuh bibir Anjani.

"Tak ada yang perlu disesali. Aku akan senantiasa di sini menjagamu," ucap Arsen.

Mereka larut dalam kesedihan dan kebahagiaan sekaligus. Tanpa terasa, Anjani mendekati Arsen. Dia menghambur ke dalam pelukan dada bidang pemuda itu.

"Terima kasih, Arsen, dan maafkan aku karena menolongku, kamu jadi kena imbasnya. Nanti aku obatin, ya," kata Anjani sambil melihat luka memar di muka Arsen.

Arsen pun kini menerima pelukan Anjani dan mengelus punggungnya. Mereka saling berpelukan. Aroma tubuh Arsen menguar indera penciuman Anjani. Begitu maskulin.

"Kita ke rumah sakit, yuk," ajak Anjani pada Arsen.

"Aku tak apa-apa, Anjani. Aku sudah melihatmu baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup. Aku akan sakit dan hancur jika melihatmu tersakiti seperti ini," rayu Arsen.

Khodam Pangeran GanjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang