Part 11. Pertengkaran

63 31 3
                                    

Aku balik lagi. Semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya. Makasih.

Happy reading.

***

Brugh!

Sial!

Shit!

Andre menggeram, menahan amarah dan emosi yang membuncah. Muka putih nan mulusnya kini berubah merah padam. Tapi Andre masih membiarkan Mayang tetap berceramah. Dia tak lantas menutup kedua telinganya.

"Bisa enggak sih, Pa, jangan ngikutin hawa nafsu untuk menyukai benda-benda itu. Puluhan bahkan ratusan juta telah kamu hamburkan untuk hal yang tak berguna." Mayang mengambil jeda dalam kemarahannya.

"Coba kalau uang itu kamu gunakan untuk__" Perkataan Mayang terpotong oleh penolakan Andre.

"Untuk apa, Mam? Selama ini aku sudah penuhi semua kebutuhan kalian." Sambil memukul pintu kasar.

"Kebutuhanmu dan dua putri kita. Bahkan aku bisa kasih lebih. Rumah mewah, emas permata, berlian untukmu, pendidikan untuk anak-anak yang layak, semuanya aku cukupi. Aku hanya butuh hiburan sebagai pelampiasanku, itu saja." Andre mulai mengembuskan udara, jengah.

"Coba uang ratusan juta itu kamu sumbangkan ke panti asuhan. Anak-anak yatim pasti akan senang di sana, akan mendoakan untuk kehidupan kita. Bukan untuk hal macam ini!" Mayang pun tak mau tinggal diam. Dia selalu menjawab pendapat suaminya.

"Apa yang kamu lakukan semalam. Aku butuh kejujuranmu!" sambung Mayang lagi.

Ketika Dien sedang disibukkan dengan tugas sekolah. Anjani yang berada di kampus dan kencan di taman kampus bersama Arsen. Ketika itu pula, Andre dan Mayang berada di satu atap bahkan satu ruangan, di dalam kamar dengan perasaan emosi yang meluap. Masing-masing selalu mengedepankan ego. Bahkan, pendingin ruangan yang sudah terlalu sejuk itu tak dapat menyejukkan hati Andre dan Mayang. Mereka masih meluapkan emosi masing-masing.

"Sayangi uangmu, masih banyak hal berharga lainnya yang bisa kamu urus. Bukan untuk hal macam ini!" Mayang selalu berusaha mengedepankan pendapatnya.

Andre tetaplah Andre yang selalu mengedepankan ego dan ambisinya. Sangat keras kepala. Jika ia sudah menginginkan sesuatu, maka ia harus mendapatkannya. Seperti saat ini. Andre hanya melampiaskan kekesalannya saat terlalu lelah dengan urusan kantor, pada benda bersejarah itu yang mempunyai nilai keunikan tinggi. Itu menurutnya. Bagi Andre, keris itu unik, benda bersejarah yang harus dijaga dan dirawat.

"Enggak ada untungnya kita punya benda itu, Pa. Percaya sama Mama!" Lagi, teriakan Mayang yang selalu menghasut pikiran Andre. Namun, seribu kali Mayang membujuknya, sebanyak itu pula Andre menolak. Mereka sama-sama tetap pada pendirian masing-masing.

"Apa kamu bilang ...," teriak Andre sambil mengangkat tangan kanannya hendak meluncur ke pipi mulus Mayang.

Beruntung, Andre masih ingat bahwa ia tak pernah sekasar ini pada Mayang. Akhirnya, tangan kanan Andre hanya melayang di udara, Andre berbalik arah. Menggenggam erat tangannya dan memukulkan di dinding kamar mereka.

"Apa yang merasukimu, Pa, hingga kau berubah seperti ini. Mana Andre yang dulu aku kenal lembut, sayang, perhatian, enggak pernah kasar dan membentak istri. Lebih dari dua puluh tahun kita bersama, melewati suka duka. Ini kali pertama kamu kasar sama aku, Pa."

Bulir bening masih menggenang di pelupuk mata Mayang yang mungkin sebentar lagi akan membasahi pipi. Melihat itu, Andre sadar apa yang telah ia lakukan memang benar-benar menyakiti hati istrinya. Mayang berlalu meninggalkan Andre sendiri di kamar sambil mengusap pipinya yang sudah terlanjur basah oleh air mata. Ia sama sekali tak menyangka ketidaksetujuannya akan mendapatkan pertentangan sekasar ini oleh suaminya sendiri.

"Ma ... Ma ..., maafin aku, Ma!" teriak Andre sambil berlari mengejar Mayang menuruni anak tangga. Mayang tetap berlari menuju kamar tamu dan menguncinya dari dalam. Sedangkan Andre masih membujuknya dengan meminta maaf dan berbagai rayuan untuk Mayang.

***

"Kakak ..., tolong aku ...!" gumam Dien dalam hati.

"Ya Allah, tolonglah hamba-Mu yang lemah ini." Dien berdoa dalam hati dan mulai melafalkan ayat Allah sebanyak-banyaknya.

Berulang kali Dien berteriak di halte saat menunggu kedatangan bus. Di sekeliling halte sangatlah sepi. Jam pulang sekolah sudah berlaku sejak satu jam yang lalu. Akibat keterlambatan Anjani menjemput Dien, akhirnya Dien memutuskan pulang dengan bus. Di sinilah kini Dien berada. Di halte bus. Namun, ada yang memanfaatkan situasi ini.

Dua lelaki tinggi tegap, berotot maskulin, tumbuh banyak rambut disekitar dagu dan dengan pakaian ala-ala preman jalanan. Mereka datang di saat situasi yang tidak tepat, sangat bahaya untuk Dien. Namun, justru sangat bermanfaat untuk para perampok itu. Awalnya, Dien berpikir bahwa mereka pun sama seperti dirinya, sama-sama menunggu bus. Namun, tiba-tiba mereka mendekati Dien, memegang dagunya. Beruntung, Dien dengan cepat memalingkan muka.

"Ayolah, ikut Abang. Abang janji bakal bikin kamu puas," rayu salah satu lelaki itu.

Dien yang mulai mencium gelagat tak wajar dari mereka segera minta tolong, pada siapa pun. Sempat ia melarikan diri, tapi dengan keadaan dirinya yang diapit kedua preman itu, ia tak bisa melarikan diri. Doa selalu ia panjatkan karena Tuhan akan menolong hamba-Nya yang sedang kesulitan.

Ditengah-tengah kegelisahan Dien, nampak kendaraan beroda empat datang menghampirinya. Penumpang mobil itu turun dan menghampiri Dien. Gadi dewasa yang terkenal cantik dan pintar, siapa lagi kalau bukan Anjani.

"Lepasin adikku!" perintah Dien pada kedua preman itu.

"Oh, dia adikmu. Pantas aja. Adiknya aja cantik, kakaknya ternyata lebih cantik. Dewasa. Menggoda. Ayolah kita main-main sebentar, Nona manis. Hahaha ...."

Salah satu preman itu mendekati Anjani dengan tatapan melecehkan, memandangi dari ujung rambut hingga ujung kepala. Preman itu geleng-geleng kepala ketika melihat setiap sisi lekuk tubuh Anjani. Sedangkan Anjani kikuk dipandangi dengan penuh tatapan yang entah. Seringai tajam, seperti harimau yang menemukan mangsanya.

"Hai, Cantik," rayu preman itu sambil memegang dagu Anjani.

Kedua gadis itu berusaha melawan, tapi apalah daya. Kekuatan preman lebih kuat berkali lipat dari Anjani dan Dien. Mereka meronta, berteriak, memukul dengan sekuat tenaga, menampar, tapi semua itu hanya sebuah sentuhan ringan bagi sang preman. Hanya sebuah klitik yang membuat geli.

Perlawanan demi perlawanan telah Anjani lakukan. Namun, itu tak berarti apa-apa untuk preman. Hingga sang preman sudah kesal dibuatnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam kantong. Tentu sapu tangan itu sudah diberi obat bius sebelumnya. Preman itu membekap mulut dan hidung Anjani dengan sapu tangan. Tak butuh waktu lama, Anjani terkulai lemas, pingsan.

"Kakak ...," teriak Dien yang melihat kakaknya sudah tak berdaya.

Menangis histeris pun tak ada guna. Melawan sudah tak berdaya, yang dilakukan Dien saat ini hanya bisa berteriak meminta tolong. Berharap ada bantuan dari  pengemudi jalan yang mengasihinya.

"Tolong .... Siapa pun kalian, tolonglah kami. Tolong!" Dien berteriak sekencang mungkin.

Anjani sudah dibekap preman dan dimasukkannya ke mobil, di bangku belakang. Sedangkan Dien masih mencoba berteriak dan meminta tolong, walau ia tahu usahanya sia-sia.

"Cepat, bawa dia masuk mobil. Kita akan bersenang-senang sekarang, Bro. Hahahaha ...," perintah sang preman yang membekap Anjani kepada temannya.

"Oke, Bos. Hahahaha ...."

***

Klik tanda bintang di bawah ini ya, Kak. Makasih. 🙏🙏🙏🙏

Khodam Pangeran GanjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang