Part 7. Penampakan

97 37 4
                                    

Happy reading. Semoga suka .... Jangan lupa tinggalkan jejaknya di setiap part. Terima kasih. 🙏

***

"Mungkin Anjani sedang jatuh cinta," gumam Mayang.

"Tak pernah ia seceria ini setelah pulang kuliah. Ah, biarkan saja. Toh, dia sudah dewasa, sudah pula waktunya untuk memulai cinta dan rumah tangga," sambungnya lagi.

Anjani dan Dien memang dididik keras dan disiplin oleh Mayang. Sang ibu tetap memprioritaskan pendidikan dan masa depan anak-anak diatas segalanya. Mayang juga selalu menasihati anak-anak untuk menunda dulu masa pacaran dan percintaan, terbukti sampai sekarang.

Dien, gadis manis yang masih polos itu tak tahu apa itu cinta. Dia belum bisa mengartikan dan merasakan. Dien masih fokus pada pelajaran, mendapatkan nilai yang memuaskan, mengaji dan mengejar cita-cita. Semua teman lelaki yang berusaha mendekatinya, dia anggap hanya sebagai teman, tak lebih. Maka dari itu, ketika melihat Anjani, dia tak bisa mengartikan kelakuan sang kakak.

Di sisi lain, Andre yang sedang disibukkan dengan urusan pekerjaan kantor, meeting dengan perusahaan lain, mengecek bagian keuangan dan lainnya, mulai jenuh dengan aktifitas setiap harinya.

"Monoton, tak ada yang menarik. Tak ada salahnya dong kalau aku mencari hiburan," gumam Andre.

Andre melirik jam di pergelangan tangan kanannya. Tiga puluh menit lagi, saatnya jam pulang kantor tiba. Namun, dia yang sudah sangat jenuh itu memutuskan untuk pulang lebih awal. Andre merapikan berkas yang berserakan di meja, memasukkan berkas penting ke dalam tas dan berlalu meninggalkan ruangannya. Biarkan saja, Doni--asisten pribadinya--yang nanti akan membawakan tas Andre. Apalagi setelah meeting tadi, Amel--sekretaris Andre--mengatakan bahwa sudah tak ada jadwal hari ini.

"Amel, kamu boleh pulang juga hari ini. Cepat, sebelum aku berubah pikiran," perintah Andre pada sekretarisnya.

Mendengar perintah itu, tanpa berpikir panjang, Amel bergegas merapikan meja kerjanya dan meninggalkan ruangan itu. Amel sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris Andre, yang membuatnya sudah memahami karakter dan sifat Andre. Jika pulang lebih awal dengan muka tegang dan menyapanya dengan bentakan, itu artinya Andre sedang jenuh dengan pekerjaan.

"Aku pun bosan dan butuh hiburan. Mumpung masih ada waktu, melipir dulu lah ke salon," gumam Amel.

Andre melangkah menuju lobby dan berniat akan menelepon Doni untuk membawakan mobilnya ke depan pintu keluar. Namun, belum sempat Andre menelponnya, Doni sudah datang dengan membawa mobil Andre. Terlihat Doni sudah duduk di belakang kemudi, menunggu Andre tentunya. Andre masuk ke kursi penumpang.

"Jalan," titah Andre.

"Baik, Pak," jawab Doni.

Doni mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Takut terjadi hal yang tak diinginkan padanya dan pada tuannya. Di tengah perjalanan, Andre menyuruh Doni untuk putar balik. Andre hanya ingin berkunjung ke rumah Aditya, teman kecilnya. Mereka berdua bisa dikatakan teman sejoli. Hanya bisa berkunjung untuk saat ini karena kesibukan masing-masing, mereka sudah tak saling menyapa beberapa bulan ini.

Sementara itu, rencana Amel gumamannya menjadi nyata. Dia pergi ke salon langganannya untuk memanjakan tubuh sejenak. Cuci catok rambut dan totok syaraf wajah. Dua kegiatan yang rutin Amel lakukan jika ke salon. Kali ini ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, akan memanfaatkan waktu pulang kerja lebih awal dari hari biasanya.

Jalan Kalimantan Nomor 3, tepat di depan pintu gerbang, Andre menyuruh Doni menghentikan laju mobilnya. Dari luar, terlihat sepi. Sunyi. Bahkan seperti rumah kosong yang sudah tak berpenghuni.

'Rumah siapa ini? Pak Andre belum pernah mengajakku ke sini?' gumam Doni dalam hati.

"Ini rumah teman akrabku. Sudah lama kami tak berjumpa, hanya melakukan komunikasi via media sosial saja," kata Andre tiba-tiba. Sepertinya Andre mengetahui ada berbagai pertanyaan dalam benak Doni. Perkataan Andre baru saja telah menjawab sedikit ketidaktahuan Doni.

Andre memencet tombol bel yang terletak di balik dinding pintu gerbang itu. Satu kali, dua kali pencet hingga yang ketiga kalinya masih belum nampak seseorang menghampiri. Hingga Andre lama menunggu.

"Mungkin beliau sedang tidak di rumah, Pak. Mungkin ada kepentingan di luar rumah. Mungkin juga ada acara keluarga. Mungkin ...."

Perkataan Doni mengenai berbagai dugaannya seketika berhenti saat Andre mengangkatkan tangan kiri pertanda Doni segera diam. Sedang tangan kanannya meraih ponsel di balik saku dan terlihat sedang menelepon seseorang.

"Oke, aku tunggu. Cepetan balik! Kalau enggak, aku pulang nih," jawab Andre kepada seseorang di balik telepon.

Mendengar kata "aku tunggu" dan melihat bosnya menunggu di depan pintu gerbang tanpa berkutik, Doni sebagai asistennya tahu bahwa bosnya menunggu si pemilik rumah ini. Doni dibuat penasaran dengan Andre, wataknya yang tak mau menunggu untuk urusan meeting dan bisnis. Namun, ia mau menunggu di rumah yang sudah hampir tak berpenghuni dalam kurun waktu yang cukup lama ini.

Menunggu adalah hal yang membosankan. Satu jam, waktu yang cukup lama untuk mereka menunggu dan saling diam. Sangat membosankan.

"Aku dan dia sudah bersahabat sejak kami duduk di bangku SMA. Semua siswa memanggil kami duo pangeran. Entah kenapa alasannya. Atau mungkin kami sama-sama tampan, menawan dan menarik perhatian kaum hawa pada zamannya. Waktu itu, kami sudah seperti amplop dan perangko. Dimana ada aku, di sana juga ada dia," kata Andre memulai penjelasannya dengan penuh tawa. Sedangkan Doni mendengarkan dengan penuh khidmat.

Tak terasa, waktu telah berputar. Jarum jam telah menunjukkan pukul lima sore. Saat tak sengaja Doni menoleh ke arah rumah, dari dalam nampak wanita dengan pakaian kebaya warna merah tua, menggunakan jarik dengan motif zaman dulu. Rambutnya tertata rapi, ada sedikit kembang kantil di sana. Wajah penuh make up sudah seperti pengantin dan menggunakan mahkota. Tatapannya sayu.

Doni hampir tak percaya dengan penglihatannya. Dia berusaha berkedip dan membasuh kedua matanya. Memastikan bahwa penglihatannya nyata dan bukan halusinasi belaka. Saat kedipan yang ketiga, ternyata sosok perempuan itu sudah menghilang dari pandangan Doni.

"Saat kamu melihat sebuah penampakan di depan mata, berkediplah kamu sebanyak tiga kali, usap penglihatanmu sebanyak tiga kali pula. Jika dalam usapan ketiga sosok itu masih ada, berarti dia memang manusia seperti kita. Tapi, jika sosok itu menghilang, berarti dia makhluk astral. Ingat itu!"

Perkataan itu selalu terngiang di memori Doni. Hingga dia bisa mengambil sebuah keputusan bahwa sosok itu adalah makhluk astral. Namun, demi kenyamanan bersama. Doni memberanikan untuk bertanya pada Andre.

"Pak, dari tadi ada orang, mungkin istrinya, kok enggak mau bukain pintu ya? Padahal kita sudah lama menunggu di sini. Dan dia lihatin kita terus, Pak," tanya Doni.

"Mana ada! Temenku itu tinggal sendirian di sini. Lagian istrinya udah meninggal beberapa tahun lalu, saat proses melahirkan. Anaknya pun beberapa saat menyusul sang mama," jelas Doni panjang lebar.

"Apa?!"

"Lalu, di ... di ... dia siapa, Pak?" tanya Doni dengan terbata sambil menunjuk ke arah jendela rumah dengan dagunya.

"Dia siapa? Jangan aneh-aneh kamu, Don," gertak Andre.

"Bapak tadi enggak lihat ada wanita yang berdiri di balik jendela sana? Cantik, anggun, memakai kebaya zaman dulu."

Doni terkejut karena hanya dia yang melihat penampakan seorang wanita dibalik jendela dari rumah teman Andre. Padahal, tadi saat Doni menatap ke arah jendela itu, Andre pun menatap ke arah yang sama. Wajah Doni seketika pias. Pucat pasi.

***

Bersambung.

Up lagi besok Senin ya, insyaallah. 🙏

Khodam Pangeran GanjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang