Ukiran Dua:
Tamu Bingkai TemuAku menatap jam yang kini telah menunjukkan pukul delapan kurang empat puluh lima menit, dengan tergesa kuhabiskan cepat sisa makan malamku.
"Ibu, Tara berakat dulu!" ucapku lalu berjalan bergegas mengenakan topi dan jaket yang tergantung pada kursi yang kugunakan.
Sayup-sayup suara pelan ibu melantunkan kata 'hati-hati' saat aku melangkahkan tungkai ini dengan cepat menuju minimarket di ujung jalan. Menjabati diri sebagai salah satu karyawan di sana.
Dengan cara ini aku ingin bisa membantu ibu untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Mencari pekerjaan paruh waktu dibeberapa toko. Rasanya aku gagal menjadi si sulung, bagaimana tidak walaupun aku bekerja paruh waktu di beberapa toko, penghasilanku tidak bisa menutupi kebutuhanku dan keluarga. Ibu masih saja ikut serta untuk bekerja.
Suasana malam kini pun sangat sepi di tambah semesta yang kedatangan rintikan hujan malam, membuat pelanggan enggan bertamu. Aku hanya bisa melamun di meja kasir memikirkan bagaimana hari esok bisa ku lalui-tidak bahkan satu jam yang akan datang saja aku tak mampu untuk memikirkannya.
Terlalu terlena dengan sang lamunan hingga akhirnya aku tak sadar seorang pelanggan yang entah kapan masuknya kini berdiri di depanku sambil menyodorkan 2 kaleng minuman kopi. Langsung saja aku menyambutnya dan menye-scennya dengan cepat.
"Ada lagi yang mau ditambah?" sesaat setelah selesai melontarkan pertanyaan klasik penjaga kasir. Aku sedikit gemap menatap siapa lawan bicaraku.
"Rokoknya sa-," ia membuat jeda, suaranya ia tahan membuatku menatapnya sejenak, "dua saja, satunya untukmu." Ucapannya langsung kusangkal.
"Maaf, saya tidak merokok."
Aku meliriknya tersenyum remeh padaku. Sekian banyaknya manusia dimuka bumi ini mengapa semesta membuatku beradu temu dengan pria yang tidak tahu diuntung ini.
Kucoba melayaninya dengan cepat. Tidak terima saja diri ini harus bercengkrama lama dengannya. Sebelum pergi ia menyodorkan satu kaleng kopi yang dia beli tadi padaku.
"Minum, agar tidak mengantuk." Tak ingin beradu bicara semakin lama dengannya langsung saja ku terima kaleng kopi tersebut.
Ia terkekeh sebentar, "Seperti kamu tidak ingin melihat wajah ayahmu ini lama-lama ya?" tanyanya yang ingin sekali ku iyakan dengan suara yang amat lantang. Namun, entah mengapa mulut ini seakan tak rela mengeluarkan kata lebih untuknya.
"Aku akan menemuimu lagi, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Bahu yang kini mengikis hilang dari pandang.
Dulu pernah jadi kebanggaan.
Namun, rasanya telah hilang.
Tergantikan menjadi kebencian.Kuingin Sejak
Sesak ini Tabu