Ukiran Sebelas

44 13 2
                                    

Ukiran Sebelas:Luka Mulai Berdarah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ukiran Sebelas:
Luka Mulai Berdarah



"Kenapa kamu tidak memberitahu kepada adikmu bawah aku ini ayah kalian?"

Tawaku kini meledak. Pria ini memang pintar sekali bergurau. Dia sangat tahu bagaimana cara membuatku tertawa paling keras.

"Setelah apa yang anda lakukan, anda masih menganggap diri anda ini seorang ayah?" Aku mentapnya remeh. Oh, Tuhan aku tahu tidak seharusnya aku berlaku seperti ini padanya. Namun, entah mengapa setiap melihatnya sumbu milikku selalu menjadi pendek. Lisan ini pun tak lagi sanggup merait kata Ayah padanya.

"Ayah tahu saat itu ayah salah. Ayah menyesal. Ayah minta maaf untuk semuanya. " Oh, ya ampun. Ia berdialog seakan ialah tokoh protagonis dan aku antagonisnya.

"Ayah di sini mau sekalian pamit-"

"Ah, iya... jaga anak dan istri anda. Semoga bahagia," ucapku sambil berlalu, tidak ingin berlama-lama, pasalnya semakin lama semakin terlintas jelas bagaimana memori sepuluh tahun yang lalu. Namun, kaki ini terjeda saat tubuhnya yang tidak tegap seperti dulu berdiri tepat di depanku, menghalangiku.

"Bisakah ayah bertemu dengan-"

"Jangan bercanda! Setelah ayah membunuh ibu, jangan lagi adikku."

Suara kaleng memekik telingaku. Netraku mendapati si bungsu yang berdiri tertegun dengan kakinya yang menginjak kaleng soda bekas. Pria yang dengan terpaksa kuakui sebagai ayahku ini, kini berjalan mendekati si bungsu tanpa wajah berdosa. Namun, sebelum ia sempat melontarkan kalimat aku langsung menarik si bungsu.

"Silakan anda pergi, sejauh mungkin kalau bisa." Aku berlalu sambil menarik si bungsu. Tapakkannya terasa lemas, kakinya dengan mudahnya mengikuti kemana aku melangkah.

Sesampainya di rumah aku mendudukkannya di kursi ruang tamu. Lalu bergegas mengambil air minum untuknya.

"Minumlah." Aku menyodorkan segelas air putih kepadanya, namun tak kunjung ia terima. Lantas aku kembali bersuara. "Perihal yang tadi tidak usah dipikirkan." Tangannya kini menepis tanganku dengan kuat membuat gelas yang kusodorkan padanya terjatuh dan pecah. Mengundang kehadiran ibu dengan wajah sendu yang berkias gemuruh.

"Maksudmu apa?!"
"Tidak ada yang mau kamu jelaskan, kak?"

Kini ia mendekati ibu. "Ibu, rahasia apa yang ibu dan kakak simpan dari Tiara? Sampai-sampai kalian bilang ayah sudah meninggal?" Ibu gemap dan langsung memeluk erat Tiara sambil menahan tangisnya.

"Kenapa harus dirahasiakan? Apa Tiara bukan bagian dari keluarga ini ya?"

"Bukan seperti itu, nak," lirih ibu.

"Terus gimana, bu? Tiara harus hidup dengan dongeng bualan kalian? Iya? Tiara enggak habis pikir saja bisa bisanya ibu dan kakak bilang ayah yang masih hidup sudah meninggal, dan bodohnya Tiara percaya. Sukses banget kalian." Mendengar ucapan itu terlontar air muka ibu menjadi mendung, semendung awan kumulonimbus. Bagaikan badai yang  menerpa persis sama dengan kejadian malam sepuluh tahun yang lalu.

"Bukan begitu, Ra. Aku enggak mau kamu tertekan dengan pandangan anak-anak perempuan lain terhadap ayahnya."

Ia mengerutkan keningnya. Alisnya nampak menyatu. Seperkian detik ia langsung tersenyum padaku. Tersenyum yang ia buat-buat, yang baru kali ini ia pamerkan padaku. Ia ulurkan tangannya mengajakku berjabat, "Wah, mulia banget kamu kak, kamu sukses. Cinta pertamaku memang ayah. Dan kamu tahu patah hati pertamaku adalah kamu, kak."

"Tetapi Tiara enggak minta, enggak peduli!"

"Terus mau mu apa?! Mau temuin orang itu? TEMUI! Suka-suka kamulah mau gimana sekarang. Kamu kira enak menyimpan ini dari dulu?! Mau bilang kamu tidak minta? Ibu yang minta! Karena ibu terlalu sayang sama kamu! Apapun ibu lakuin buat kamu. Kamu emang tidak penah peduli. Tetapi, sayangnha ibu peduli sama kamu. Ibu terlalu takut anak bungsunya ini kenapa-kenapa."

Aku menatapnya dengan wajah yang memerah. Kuarahkan jari telunjukku terpat diwajahnya.

"Kamu itu luka keluarga ini. "

"Tara!" Isak ibu tak kuhiraukan.

"Banyak yang kamu renggut-" Aku tidak sanggup melanjutkan untaian kalimatku pada bungsu. Aku langsung beranjak menuju kamarku.

Tiba-tiba saja perutku semakin mati rasa. Koloni kupu-kupu yang ada di perutku seakan menggerogoti isi perutku. Entah kutukan apa yang ku alami saat ini. Namun, semakin hari koloni kupu-kupu tersebut seakan semakin bertambah banyak.















Kuingin Sejenak Sesak ini Tabu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kuingin Sejenak
Sesak ini Tabu

SEJENAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang