Ukiran Satu:
katanya Sulung itu AkuAku menatap langit berselimutkan awan. Rintikan yang terdengar seperti rintihan mulai berjatuhan. Lambat laun menyapu besih jalanan.
Seragamku yang kini tak berbentuk lagi, terlihat dua kali tampak kumuh ketika tetesan air dari cakrawala ini menghujani tubuhku. Kubiarkan tubuh beradu satu dengan tetesannya, agar cepat sampai rumah.
Sambil menabung langkah menyisiri jalan kota metropolitan yang terkenal kejam ini aku teringat guyonan teman seusiaku yang mabuk akan dunia percintaan, berkata; hujan itu pembawa rindu. Dan aku juga menaruh rasakan hal itu saat ini. Namun, rasanya mengambang tak jelas, rindukan siapa? Sosok ayah yang lama hilang tanpa kabar? Yang benar saja. Sekian banyaknya orang yang bisa ku titip rindu mengapa harus lelaki tak bertanggung jawab itu?
"Assalamualaikum, Tara pulang." Tidak terasa langkah kini sudah menemukan tempat pulang.
"Kakak sudah pulang- Woah... lihat codetan barumu kak, tampak jantan sekali. Kakak habis berkelahi lagi?" Mulutnya terbuka amat lebar membuatku tak tahan menyembunyikan cengiranku.
"Biarkan aku masuk dulu."
Baru diri ingin menjatuhkan diri di sofa kayu yang kalau diduduki terdengar bunyi decitannya, suara perempuan satu-satunya di keluarga ini terlontar padaku.
"Sudah pulang kak? Eh jangan duduk dulu, langsung ke kamar mandi sana ganti bajumu." Namun, raut wajah ibu langsung berubah saat matanya menjatuhkan atensinya padaku.
Ibu menatapku intens, "itu kenapa lagi pipimu? Kakak berantem lagi? Kan ibu sudah bilang-"
"Iya, ibu bilang Tara harus mandikan? Oke-oke ini mau mandi," ucapku sambil tersenyum geli.
"Kebiasaan, yasudah sana."
"Kakak," panggil si bungsu membuatku mengernyitkan kening, "Kakak utang cerita ya sama adek." Aku langsung memberikan acungan jempol padanya. Sudah biasa ia akan memintaku menceritakan bagaimana kronologi aku dan teman-temanku berkelahi dengan anak sekolah lain.
Aku terlahir dalam keluarga yang harmonis, namun sedikit tumbang.
Aku sering bertanya-tanya.
Pada diri ini tentang sebuah prakara tak penting.
Tentang diri seberapa layaknya dan bagaimana bisa diri terlahir sebagai si sulung di dalam keluarga.
Kalau boleh memilih, aku tak ingin menjadi si sulung.
Aku tidak siap menjadi penopang perihal cerita tumbangnya keluarga.kuingin Sejenak
Sesak ini Tabu