Ukiran Delapan

63 14 5
                                        

Ukiran Delapan:Tamu Malam Ingatkan Dosa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ukiran Delapan:
Tamu Malam Ingatkan Dosa




"Begadang, kak?" Bahana lokal salah satu penduduk asli rumah kecil ini bersuara, diekori bahana asing si gemuruh alam menyelaraskan suara si bungsu yang mulai memasuki masa dewasanya.

Ia melangkah masuk ke dalam bilik sesak ini, merebahkan dirinya di atas kasurku. Tangan kanannya ia angkat, lalu ia kepalkan, bagai meraih cahaya yang terpancar pada lampu redup kamarku. Kedua ain kami bertemu, lalu ia menyengir lebar sukses membuat kerutan di dahiku terbit.

Teringat hukum alam, yang menyatakan bila seseorang melakukan hal yang manis ada udang dibalik terigu yang dimaksudnya. Namun, aku sedikit berpikir apa yang dilakukan adikku itu tidak ada manis-manisnya.

"Mau apa?" Ia sedikit gemap saat aku melontarkan pertanyaan tersebut. Namun, kembali tersenyum lebar.

"Ajak Tiara nongkrong sama geng kakak dong!" Diri yang awalnya menyibukkan diri dengan kegiatan mengukir langsung menghetikan aktivitasku. Gemap yang awalnya merasukinya kini berpindah haluan padaku namun dengan spektrum lebih tinggi.

"Enggak boleh." Kerutan di dahi kini dua kali lipat terlihat jelas.

"Kenapa? Kan Tiara mau ikut tauran... mau coba ikut teriak 'serang...' baru lari-lari, pasti seru 'kan?"

"Anak perempuan enggak boleh tauran."

"Kata siapa? Ada emansipasi wanita, tahu!"

"Emansipasi wanita, ya emansipasi wanita, tetapi tauran itu enggak baik," ucapku sambil menghembuskan napas pelan.

Kini ia mendudukkan diri di sisi kasur, "Itu kakak tahu, kenapa masih dilakoni?"

Tanganku seketika menjadi kelu, alat ukir yang sedari tadi ku sayatkan pada kayu, kini tejatuh tinggalkan bunyi sendu.

Miris, bukan? Aku manusia paling tak beguna yang pernah ada. Tahu salahku namun tak tahu bagaimana cara pembenarannya. Sulung ini benar-benar pencundang picisan.

Aku benar-benar bodoh. Memasukkan diri pada pusat lingkaran setan. Yang namanya lingkaran setan, siapa tahu ujung dia punya arah? Yang ada diri hanya berputar dalam lingkarnya hingga binasa, persetan dengan kebenaran.

Kalau bisa, kalau mampu. Aku ingin berteriak pada semesta. Kalau aku ingin sudahi, tapi memang nasib diri ini nestapa sekali. Ditepuk nyata pada semesta dengan keras, bahwa semua itu aku yang memulai tak bisa lari begitu saja. Ada hal yang harus dibayar karena ulahku.














Kuingin Sejenak Sesak ini tabu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kuingin Sejenak
Sesak ini tabu

SEJENAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang