Ukiran Tujuh:
sumpah si sulung (2)
Beban yang selama tiga tahun terakhir ini, ibu tanggung sendiri di pundak rapuhnya. Tangis yang ia lantun sendiri menjadi sebuah semangat dirinya tersendiri katanya. Padahal aku tahu ibu hanya menahan sebuah perih bak belati yang menusuk setiap bilik jantungnya.
Aku telah membaca seluruh rajutan milik ibu. Ia mencoba menegarkan si hati melalui tulisannya. Mencoba menyemati diri kala itu. Berkali-kali ibu mencoba meyakinkanku bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja.
"Tidak apa-apa kak, ibu baik-baik saja," ucapnya sebanyak tiga kali sambil tersenyum lembut mengusap punggungku. Aku ingin menjawab "jangan berbohong, bu" namun diri ini bungkam hanya dapat mematung kala itu.
"Maafkan ibu ya, ibu saat itu sangat takut terlihat hancur di mata anak-anak, ibu. Ibu tidak ingin kakak ataupun adik merasa apa yang ibu rasakan. Ibu tidak ingin membagi beban ini pada kalian berdua. Namun, ibu rasa ibu malah gagal ya? Kakak malah harus menjadi pelampiasan, ibu. Maafkan ibu ya, Nak."
Aku hanya diam. Lidahku terasa kelu sekujur tubuhku menjadi mati rasa.
"Apa kakak membenci adik?" Kala itu ibu memegang wajahku lembut lalu membenturkan pelan dahinya pada dahiku. "Apa ibu boleh meminta tolong pada kakak? Apa kakak ingin berjanji pada ibu?" Saat itu aku hanya dapat menggangguk kaku.
"Jangan pernah membenci adikmu. Jaga dia baik-baik. Tugas seorang kakak itu memastikan adiknya baik-baik saja. Ketika ibu sudah tidak ada, kakak harus selalu ada untuknya ya jadilah kakak yang bisa adiknya andalkan." Ibu menjauhkan dahinya pada dahiku namun masih metetap memegang wajahku lembut.
Bulir bening ibu kembali jatuh,"Maafkan ibu yang memberikan sebuah beban padamu."
Kala mentari berada tepat pada tombak, kala itu aku bersumpah pada ibu. Kala itu pula ibu berjanji tidak akan menangis lagi. Dan aku pun membuat sebuah roman picisan, bahwa ayah telah meninggal kepada adikku.
sejenak