Ukiran Lima

104 23 8
                                    

Ukiran Lima:cikal bakal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ukiran Lima:
cikal bakal




Setelah kejadian itu, aku jadi mengenal sisi lain dari butala ini. Diri yang naif kala itu tidak pernah menyadari begisnya watak si butala yang ditapak sehari-hari. Laksana pasir putih dipesisir pantai. Ombak menyapu bersih seluruh duniaku tanpa sisa, tanpa hati.

Sayup-sayup kicau suara tetangga meradang. Berkisah tentang dongeng dengan alkisah sebuah katanya. Semenjak itu aku tumbuh dengan diiringi sorotan lampu warna iba. Tanpa ada judul ingin 'menolong'.

Kala itu ibu hidup dengan jiwa yang mati. Kala itu ibu ada namun kehadirannya selalu menjadi sebuah tanda tanya.

Sosok ibu yang kukenal tiba-tiba enyah diterjang ombak malam kala itu. Aku sempat tidak mengenalinya. Ibu kala itu mencoba bersikap tegar dibalik watak keras yang ia buat-buat. Tak jarang kami jadi sering beradu argumen.

Bila dipikir-pikir hal yang aku permasalahan memang sepele, namun entah mengapa rasanya duniaku direnggut kala itu karena tidak bisa sebebas anak lainnya. Sangat sepele, hanya ingin bermain sehabis pulang sekolah bersama teman-teman. Tetapi ibu, selalu tidak mengizinkanku dengan satu alasan, yaitu adikku.

Sampai akhirnya dimana aku tidak bisa menahannya, hari itu pun semua kuluapkan.

"Ibu, Tara ingin minta izin besok mau jalan dengan teman sehabis pulang sekolah."

Saat itu ibu menatapku dalam. Lalu menjawab dengan jawaban yang sama. "Tidak." Iya, selalu itu jawabnya tidak pernah berubah. Aku yang sudah tidak dapat menahannya lagi melontarkan semua yang kupendam selama ini.

"Kenapa? Karena adik? Kenapa selalu adik sih, bu? Tara juga berhak bahagia! Tara tidak meminta ini itu, Tara hanya minta izin ibu. Apa susahnya? Kenapa selalu adik? Tara juga ada sini, bu!"

Ibu tampak terkejut kala itu mendengar semua lontaranku, aku yang sudah merasa diambang batas kini tidak dapat lagi berpikir jernih. Dari situlah benih iri pada adikku tertanam subur pada diriku. Aku yang kesal tak terkira padanya saat itu langsung mendorongnya hingga terjatuh. Saat itu usianya masih lima tahun, ayolah anak mana yang seusia itu tidak menangis kala didorong walaupun hanya dorongan kecil bahkan ia tidak akan berdarah.

"TARA!"

Teriakan ibu tak 'ku indahkan. Aku langsung mengambil sepeda dan mengayuhnya tanpa arah, sambil mengayuh aku berteriak menahan air mataku yang ingin menghujan. Ya, aku telalu tinggi diri untuk menangis kala itu, ah... sampai sekarang pun masih begitu.

Hal itu pula menjadi cikal bakal aku menjerumuskan diri. Memilih jalan sebagai seorang pecundang. Melakukan kenakalan remaja seperti tauran, merokok, dan membolos.










 Melakukan kenakalan remaja seperti tauran, merokok, dan membolos

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sejenak



[kalau kata saya sulung itu out of the box]

SEJENAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang