Ukiran Sepuluh:
Semesta itu Semaunya
Kusisiri langkah ini menuju minimarket di ujung jalan diiringi matahari yang tengah bersemangat membuat si angin kelelahan mengusir teriknya. Sambil mengais jarak aku bergumam, mencoba menghitung hari demi hari menunggu tanggal muda yang menerbitkan kurva positif.
Netraku yang awalnya menatap jalanan beraspal tak sengaja memotret hal yang tidak pernah ku khayalankan sebelumnya. Sejenak aku ingin ini hanya sebuah fatamorgana. Ilusi tak nyata. Bagaikan sebuah kubangan air di padang gurun. Terserah apalah itu, yang terpenting ini tidak benar-benar nyata.
Namun, semesta itu semaunya. Sebuah rahasia yang selama ini ku coba simpan seapik mungkin, dengan mudahnya ia hancurkan dalam waktu singkat. Semesta mempertemukan si bungsu dengan pria tak tahu diri. Tak cukup itu saja, semestapun membuat mereka bercengkrama.
"Ra, pulang! Ibu nungguin," ucapku sambil menariknya paksa si bungsu menjauhi pria tersebut.
"Kakak ini kenapa narik-narik enggak jelas? " Ia meronta mencoba melepaskan tangannya dari genggamanku. Namun, tanganku kini semakin menggenggam kuat. "Tiara bisa pulang sendiri, kakak mau kerja 'kan?" Aku langsung menghentikan langkahku.
"Aku antar sampai rumah dulu." Baru ingin kembali melangkah, tetapi ia bersikeras. Setelah ia berjanji akan langsung kembali ke rumah aku pun mengiakan keinginannya.
Namun, sebelum berlalu ia sempat melontarkan sebuah bom waktu dengan tajuk apakah aku mengenal pria tersebut? Yang langsung ku ulur dengan mengatakan aku tidak mengenalnya.
Setelahnya, entah mengapa tiba-tiba saja perutku kini menjadi keram bagai kedatangan koloni kupu-kupu yang hinggap di dalamnya.
[SEJENAK]
Kepulanganku disambut dengan keingin tahuan si bungsu. Ia bertanya dengan tergebu-gebu. Bisuku dia tidak mau. Menyerbuku dengan semua isi kepalanya tentang pria itu. Tidak memberiku waktu untuk membuat reka kebohangan yang baru.
Aku berkata. Dia bukan siapa-siapa, namun dia bukan orang yang baik, cukup hindari saja. Jangan merait komunikasi lagi dengannya. Namun, bukan dia kalau tidak meminta alasan. Kenapa?
Aku hanya terdiam, lalu bergegas menuju kamarku dan menguncinya. Menurut tidak ada kata-kata keji yang bisa kugambarkan untuk menjelaskan betapa begisnya pria itu. Semua kata umpatan seakan lebih berderajat dari pada dirinya.
Perutku kini terasa semakin keram. Seakan koloni kupu-kupu tersebut kini sedang menari-nari di dalamnya.
Kuingin Sejenak
Sesak ini tabu