Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ukiran Duabelas: Obat Merah untuk Luka
Ukiran patung pahlawan itu retak. Bawakan goresan luka pada sang pemilik. Keduanya sama memiliki goresan yang bisa pulih namun tak dapat kembali seperti sedia kala.
Ditemani fajar kami menyusuri jalanan yang masih sepi. Kanvas masih memerah muda dengan tipis-tipis magenta tak beraturan. Lampu jalan masih mengiringi mentari yang bersiap untuk terbit.
Suara riak air yang terbentur batu mengundang kami untuk mendekat. Ku lihat si bungsu melepas alas kakinya, mendudukkan dirinya di bebatuan besar lalu menyengaja menerpakan kaki pada air yang meriak mencari arusnya.
Aku menahan keramnya perut yang mulai menggerogoti diri. Tidak dapat ku bedakan rasa geli dan nyeri ini. Kupu-kupu tersebut seakan menari-nari tanpa henti.
Aku coba memberanikan diri mendudukkan diri di sampingnya."Aku ingin berbicara, mungkin kamu tidak ingin mendengarnya. Tetapi untuk sekali ini saja. Besok kamu pun tidak akan melihatku lagi."
Netranya kini sedikit melirik padaku namun titik fokusnya tetap pada kakinya yang sedang bersua dengan air, "Kemana?" cicitnya.
"Mau coba ke Bandung." Air mukanya kini menjadi masam seakan menyiratkan cemas.
"Ibu kasih izin?" Aku mengangguk. Ia sedikit gemap namun dengan cepat ia bungkus kembali dengan menyibukkan diri dengan riak-riak air yang kehilangan arah karena ulahnya.
"Cih, mau lari?" gumam sekenanya namun masih tertangkap oleh indra pendengarku.
Aku tersenyum getir. Menarik napas dalam sebelum memulai merajut ulasan paling kelam. "Setelah malam itu, tidak ada yang baik-baik saja. Ibu yang pura-pura tegar dan kamu yang merenggut semuanya dariku."
Koloni kupu-kupu di dalam perutku kini kembali mencoba menggerogoti isi perutku. Rasa geli kini kian menipis tersisa nyeri.
"Kamu jadi hal yang paling aku tak suka. Semua menjadi sulit ketika semua untukmu. Lalu, ibu menyuruhku untuk selalu menjagamu. Entah sumpahku atau apa, setidak sukanya aku padamu tetapi aku tidak bisa membencimu."
"Aku sering mengadu nasibku dengan nasibmu. Bertanya-tanya kenapa harus aku yang menopang perihal cerita tumbangnya keluarga. Apa karena aku sulung? Lantas apa bedanya si sulung dan si bungsu? Bukankah yang membedakan hanya sebatas siapa dahulu yang melihat buntala ini? Kalaupun aku salah, kalau pun bisa memilih aku tidak ingin menjadi sulung. "
Koloni kupu-kupu tersebut kini semakin menjadi-jadi. Ratusan atau ribuan aku tak tahu berapa jumlah pastinya. Yang kutahu rasa sakit kini mulai menjalar keseluruh tubuh.
"Ibu, walau masih bisa tersenyum namun tak bisa selepas dulu. Di senjanya ada sendu yang setiap hari selalu mengabu. Namun, ibu seperti punya sebuah semangat untuk bertahan yaitu kamu. Senyum lugumu jadi hal terfavorit dalam hidup ibu. Lantas aku tersadar ternyata ada ego yang harus aku turunkan dan keinginan yang harus kuurungkan. Aku belajar untuk merelakan yang tak seharusnya untukku."
Seakan terusik konoloni kupu-kupu tersebut seakan mencari jalan keluar dengan menggerogoti seluruh tubuhku, tanpa ampun. Namun kucoba tak indahkan.
"Di senja itu kita berjalan dimana kamu berjalan mendahuluiku. Aku melihat pundak kecilmu yang ingin menaklukkan buntala ini. Aku jadi tak rela membagi beban ini pada pundak kecilmu. Disana aku melihat ada masa depan yang cemerlang. Aku tidak mau kamu merasakan apa yang aku rasakan. Aku mau kamu seperti layaknya anak perempuan lainnya. Yang merasakan cinta pertamanya adalah ayahnya. Aku tidak mau hidupmu di penuhi sendu hitam dengan lampu sorot iba sepertiku. Ku akui caraku memang salah dengan membual cerita dimana ayah telah meninggal. Aku minta maaf tidak bisa menjadi sulung yang bisa diandalkan. Maaf aku gagal."
Semakin dihiraukan, koloni tersebut semakin menjadi-jadi. Seluruh tubuhku kini telah terisi oleh koloni kupu-kupu yang semakin bertumpuk dan berusaha mencari jalan keluar.
"Cukup dengarkan saja hari ini. Untuk besok tidak ada lagi. Aku tidak berniat lari aku hanya pergi. Pergiku pun untuk menjalani sebuah hal yang harus kubayar konsekuensinya."
"Kak, di hidung dan sudut mulutmu berdarah?" Setelahnya semua menghitam dan aku tidak mengingat apa yang terjadi setelahnya.
[SEJENAK]
"Tara pamit, bu," Ibu memelukku erat. Tangis membasahi kemejaku.
Lalu, aku mendekati si bungsu. "Jaga, ibu." Dengan cepat ia memelukku, lalu bergumam. "Kakak memang patah hati pertamaku. Namun ada seribu alasan kenapa kakak akan selalu menjadi patung pahlawanku."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejenak ku kira paling benar Sejenak ku kita paling sesak Nyatanya semua tabu
[ s e l e s a i ]
Mohon maaf sebelumnya saya berdusta Perihal sisa dua ukiran yang tersisa