Untitled Part 18

24 1 0
                                    

Relung Ingatan

Di depan jendela kamar yang masih terbuka. Angin sepoi-sepoi bertiup mesra. Udara malam terasa dingin menyelimuti seorang perempuan cantik bernama Eliza. Ditemaninya cahaya rembulan dan bintang-bintang gemerlap di angkasa. Menampakkan binar-binar cahaya di matanya. Tak luput berseri-seri wajahnya. Begitu pun hatinya, berdebar ria seraya mengundang kenangan yang pernah ada.

Heningnya malam mengetuk hati Eliza untuk membuka memori lama. Ia pun beranjak mengambil sebuah buku besar dalam laci dekat jendela. Dibawanya buku itu untuk menemaninya duduk di sofa depan jendela. Dibukanya perlahan setiap lembaran dalam buku itu. Buku yang berisi sekumpulan foto-foto bersejarah. Lebih tepatnya foto kenangan semasa SMA-nya.

Pandangan Eliza terhenti di sebuah foto. Ditatapnya dalam-dalam foto tersebut. Foto yang menggambarkan sesosok laki-laki yang tersenyum manis, berkumis tipis, dan berambut klimis dengan mengenakan seragam putih abu-abu. Laki-laki yang pernah menjadi teman sekelasnya dulu. Laki-laki yang pernah dia anggap menyebalkan, kata-kata penuh sindiran dan cueknya minta ampun. Tapi, laki-laki itu adalah seseorang yang terus terlintas dalam ingatan Eliza.

Eliza teringat peristiwa delapan tahun silam. Peristiwa perjalanan ke puncak gunung bersama teman-temannya SMA sebelum Ujian Nasional berlangsung. Eliza yang penakut tidak berani melakukan perjalanan itu. Perjalanan yang berliku-liku yang berada di daerah pelosok ditambah kabar jalanan licin karena musim hujan kala itu membuatnya semakin takut untuk menapakinya. Lebih-lebih Eliza adalah anak rumahan yang tak pernah keluar jauh tanpa pengawasan orang tua maupun guru.

Eliza sempat berpikir untuk melewatkan momen indah itu. Dia sempat rewel untuk tidak ikut perjalanan itu. Namun sosok laki-laki yang sedang ditatap Eliza dalam foto menguatkan hati Eliza. Dia bahkan menawari Eliza tumpangan dan akan selalu menjaga Eliza dalam perjalanan. Sungguh aneh, selama dua tahun Eliza mengenalnya tak pernah mereka berkawan akrab, apalagi sekedar untuk bertegur sapa pun tak pernah. Entah apa yang di pikiran lelaki itu padanya, mungkin rasa iba pada gadis lemah itu.

Kau bersamaku saja El, aku akan menjagamu. Tawaran laki-laki itu.

Sontak telinga yang mendengar ucapan itu terkejut layaknya sengatan listrik yang menyambarnya. Tak hanya Eliza seorang tapi semua orang merasakannya. Siapa sangka sosok laki-laki yang terkenal menjaga jarak dengan wanita tiba-tiba saja berbaik hati. Mereka pun menjadi perbincangan panas kala itu.

Keadaan memaksa Eliza untuk menerima tawaran laki-laki menyebalkan itu karena tidak ada lagi pilihan lain, mengingat dalam benak Eliza juga tidak ingin melewatkan momen kebersamaan terakhir bersama teman-teman. Dengan sangat terpaksa Eliza duduk di belakang laki-laki itu. Tapi entah mengapa hati Eliza menjadi berdegup sangat kencang padahal Eliza sebelumnya tak pernah tertarik pada laki-laki itu.

Awal perjalanan Eliza dan laki-laki itu hanya diam-diam saja. Eliza teringat kala itu dia sangat tidak nyaman dengan suasana hening. Eliza mencoba memberanikan diri membuka percakapan di antara mereka. Persepsi Eliza tentang sosok laki-laki yang memboncengnya itu salah besar. Dia sangat asyik diajak bicara, mereka sesekali tertawa bersama, bahkan sikap cueknya hilang seperti ditelan bumi. Eliza sangat menikmati perjalanan bersamanya. Ditambah suasana alam yang cantik nan memesona, udaranya masih sangat sejuk, dan cuaca cerah mendukung perjalanan itu.

Benih-benih kekaguman muncul di hati Eliza kala itu. Menghapus semua anggapan buruk yang pernah ada pada sosok laki-laki yang dipandanginya. Dia kagum ketika laki-laki yang dianggap cuek menyapa ramah penduduk kampung dalam perjalanan mereka. Bahkan laki-laki itu masih sempat bertanya pada Eliza, apakah Eliza sudah izin pada orang tua untuk ikut perjalanan kala itu. Sungguh hal yang langka bukan, ketika dua insan sudah berjalan bersama masih memikirkan izin orang tua.

Keping CeritaWhere stories live. Discover now