Untitled Part 19

28 3 0
                                    

MENYUKAIMU BUKANLAH DOSA

Aku menyukai seseorang. Dan dengan bodohnya seseorang itu adalah saudara kembarku sendiri. Namanya Aidan. Ini bukan perihal suka dan sayang terhadap saudara, tapi ini perihal suka antara seorang perempuan terhadap laki-laki. Ini memang gila, tapi ini memang kenyataanya. Kami berdua memang kembar. Memiliki wajah hampir mirip, lahir di tanggal, bulan dan tahun yang sama dan itupun hanya selisih waktu yang tidak banyak.

Kalau kalian bertanya mengapa aku menyukainya padahal aku sadar bahwa dia saudaraku. Jawabannya adalah aku tidak tahu. Aku menyukainya tanpa alasan. Semenjak aku masuk SMA aku merasa nyaman di dekatnya dan tentunya aku bisa membedakan rasa nyamanku bersama orang tuaku, bersama teman dekatku dan ketika aku bersama Aidan.

Aku sudah hampir 3 tahun menyukainya, dan sudah berulang kali aku menyatakan perasaanku padanya. Contohnya saja seperti saat ini, ketika aku tengah menonton televisi bersamanya.

Aidan... panggilku lirih sambil menatapnya.

Aidan memang lebih dulu terlahir ke dunia ini. Akan tetapi kami berdua sepakat untuk memanggil nama masing-masing tanpa imbuhan apapun. Tidak peduli siapa yang lahir lebih dulu, kami hanya peduli bahwa kami lebih dekat dari sekedar saudara.

Hhmmm... respon Aidan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari televisi.

Lihat aku!

Ada apa Ariella? tanya Aidan sambil beralih menatapku.

Aku suka sama kamu, ucapku langsung pada intinya.

Iya sayang, aku juga suka sama kamu adik tercintaku. Jawab Aidan tanpa menunggu lama dan langsung memelukku.

Mungkin ini sudah keempat kalinya aku menyatakan perasaanku padanya, dan semua itu mendapat respon yang sama.

***

Suatu hari aku terjebak hujan deras di sekolah. Aku baru saja menyelesaikan kerja kelompok dengan teman-temanku dan Aidan sudah pulang lebih dulu. Sore itu hujan turun sangat lebat, sedangkan teman-temanku sudah pulang karena telah dijemput oleh sopir mereka. Sedangkan aku tidak membawa payung ataupun jas hujan dan ketika ingin menelepon Aidan, handphone-ku mati karena kehabisan baterai. Aku hanya bisa berharap hujan segera reda.

Bukannya reda, hujan malah turun semakin menjadi-jadi. Aku mulai takut karena hari mulai gelap. Aku mulai berpikir apakah aku harus menerobos hujan. Belum sempat aku memutuskan niatku itu, dari kejauhan Aidan datang dengan sepedanya sambil membawa payung.

Nih payungnya, kita jalan kaki aja pulangnya. Kalaupun naik sepeda malah basah semua nanti soalnya hujannya deres banget, ujar Aidan saat dirinya baru saja menghampiriku.

Kamu nyuruh aku nggak boleh sampai kehujanan, tapi kamu sendiri kesini malah cuman pakek payung dan basah semua kayak gini, ucapku sedikit kesal melihat apa yang dilakukan Aidan.

Ya gimana lagi, tadi nyari jas hujan nggak ketemu, jawab Aidan.

Ya kan kamu bisa jalan kaki kesini, toh juga nggak jauh dari rumah ke sekolah,

Kalau tadi aku jalan kaki kesini, aku pastiin kamu udah lebih duluan nerobos hujan, iya kan? tebak Aidan.

Tau ahh, cepetan parkirin sepedanya, keburu gelap nih.

Aidan menuruti perkataanku dan memarkirkan sepedanya disamping sepedaku. Setelah itu kami pulang bersama dengan jalan kaki.

Hari pun telah berganti dan memaksa matahari untuk segera menampakkan diri. Pagi ini aku bangun lebih pagi karena ada jadwal piket. Terlebih lagi aku harus berjalan kaki karena sepedaku yang aku tinggal di parkiran sekolah.

Keping CeritaWhere stories live. Discover now