Sepulang kampus, Hana masih harus mengerjakan tugas matakuliah Pemetaan di kosan Nelchy hingga harus pulang lebih sore.
Hana membuka pagar rumahnya. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30.
Sesampainya di depan pintu rumah, Hana mengernyit bingung. Tidak biasanya pintu rumah mereka terbuka di sore hari seperti sekarang. Dia juga baru menyadari ada lebih banyak sepatu di teras rumahnya. Memikul rasa penasaran, Hana akhirnya mengetuk pintu.
"Selamat sore," salamnya begitu masuk. Dia melihat canggung ke arah ibunya yang sedang mengobrol asik dengan seorang wanita dewasa seumuran ibunya yang terlihat awet muda.
Adapula ayahnya yang sedang berbincang serius dengan seorang lelaki berkaos putih yang tidak Hana kenali karena posisi duduknya yang membelakangi Hana. Sesekali mereka berdua tertawa kecil.
"Iya, sore. Eh anak ibu udah pulang," Sari ibu Hana menoleh dan berdiri mendekati Hana seraya menuntunnya untuk duduk.
Wanita yang tadi berbincang dengan ibunya ikut menoleh dan tersenyum ramah begitupun dengan Hans ayah Hana dan laki-laki berkaos putih tadi.
"Ayo salaman dulu. Ini tante Venya, teman SMA mama dulu Hana," ujar Sari.
Hana tersenyum sembari menyalami tante Venya yang juga tersenyum tak kalah ramah.
"Halo nak Hana," sapanya.
"Nah, kalo yang di samping ayah kamu itu anaknya tante Venya, namanya Mauven, dia dosen loh, udah doktor malahan,"
Hana berbalik dan senyum manisnya lenyap seketika ketika melihat seorang pria tersenyum 'mengejek' seolah-olah berkata Hai ke arah Hana.
"Hana, ayo salaman," ujar Sari namun Hana masih belum kembali ternyata.
"Hana!" tegur Hans pelan yang kemudian mengembalikan kesadaran Hana.
"Eh, i..iya Pah," dengan gemetar Hana menyalami Mauven yang menatapnya tajam.
Mauven membalas uluran tangan Hana dan Hana bisa merasakan aura tidak baik dari salaman itu. Sedangkan Mauven tertawa terbahak-bahak dalam hatinya karena menyadari raut takut di wajah mahasiswinya itu.
Cepat-cepat dia melepaskan tangannya. Entahlah, Hana tidak bisa berpikir saat ini. Tidak. Dia bisa. Yang dia pikirkan sekarang adalah kalau-kalau saksi sekaligus dosennya ini akan membocorkan perihal peristiwa kemarin.
Kalau sampai orang tuanya tahu dia berlatih motor, Hana mungkin tidak akan diberi jajan lagi. Astaga! Ini masalah besar. Emergency!
"Oh iya. Nak Mauven sekarang mengajar di kampusnya Hana, kan? Bidangnya juga sama seperti Hana, seharusnya Hana kenal dong," Sari menoleh ke arah Hana yang sudah duduk di sampingnya sembari meremas jari.
"Iya tante. Dia mahasiswi saya. Mahasiswi paling rajin malahan. Saking rajinnya, sewaktu saya masuk mengajar dia asik membaca buku," ujar Mauven yang tidak lepas menatap Hana tajam.
Kata-kata itu mungkin terdengar seperti pujian di telinga kedua orang tuanya namun tidak bagi Hana. Itu jelas-jelas sindiran keras.
Ya ampun. Masa iya dia harus berperang dengan dosennya sendiri. Sementara ibunya terlihat senang mendengar ucapan Mauven.
"Ehm.. maaf tante saya masuk dulu, mau ngerjain tugas soalnya, takutnya numpuk," Hana yang sudah tidak sanggup akhirnya beralibi.
"Oh gitu ya. Ah, begini saja. Hana dibantui Mauven ya? Kan pas banget bidangnya sama udah gitu bisa sekalian di bimbing sama ahlinya," ujar Venya membuat Hana tersentak.
"Eh, gak--"
"Mauven bisa, kan?"
Tolak pak! Pliss pliss! Hana hanya bisa merintih dalam hatinya. Seharusnya alibi yang dia pilih bisa menyelamatkannya bukan malah menjerumuskannya.
"Boleh,"
BAGUS.
Jawaban singkat padat dan jelas itu baru saja meruntuhkan dunia Hana.
****
Dengan perasaan tidak karuan, Hana menenteng buku-bukunya menuju teras belakang rumahnya. Mauven sudah menunggunya di sana.Sebenarnya dia tidak ada tugas yah, ada sih, tugas dari Mauven tadi siang. Tapi bukan niatnya mengerjakan sekarang.
Mata Mauven menangkap Hana yang sudah kembali dengan buku-bukunya. Dia bisa melihat Hana terus mencoba mengalihkan pandangan darinya. Dia tersenyum kecil untuk itu.
Ya Tuhan....kenapa jadi begini? Rutuk Hana dalam hatinya.
"Baru tahu saya kalau kompleks ini menyimpan seorang kriminal," sindir Mauven begitu Hana duduk dengan canggung di depannya.
Hana yang hendak meminum air putih di depannya terhenti. Dia menaruh kembali gelas di tangannya. Mencoba menatap Mauven namun nyalinya langsung ciut karena tatapan Mauven yang santai tapi tajam membunuh. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan ke arah buku-buku di depannya. Alhasil, dia diam saja.
"Orang tua kamu tahu tidak, ya?"
Pertanyaan itu membuat Hana melotot. Cepat-cepat dia mengubah sikapnya. Memasang muka memelas dan mengatup kedua tangan di dada. Seraya menggeleng.
"Saya mohon pak, jangan sampe papa sama mama tahu, kalau mereka tahu, saya bisa...," Hana kehilangan kata-kata. Tidak mungkin sekali dia bilang akan kehilangan uang jajannya. Terdengar terlalu egois.
"Bisa apa?"
"Pokoknya jangan ya, pak?" Hana memanyunkan bibir bawahnya persetan jika dia terlihat jelek dan menyedihkan sekarang yang penting selamat.
Mauven masih menatapnya sedangkan Hana mencoba mencari alibi lain.
"Lagian bapak kan cuma saksi, tinggal tutup mulut aja, yah?"
Hell.
Mauven mencondongkan tubuhnya. Alisnya terangkat.
"Iya. Saya saksi sekaligus pemilik spion yang anda buang kemarin,"
Deng!
Hana menatap Mauven berusaha mencerna kata-kata dosennya itu.
Sedetik kemudian dia menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan.
"Jadi... itu mo..bil bapak?" tanya Hana hati-hati.
Anggukan dan senyuman dingin Mauven membuat Hana ingin lompat ke kolam berenang di samping mereka saat itu juga namun teringat bahwa dia tidak bisa berenang.
To be continued
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak😊
~DewiPuteri~
KAMU SEDANG MEMBACA
Forester In Love (On Going)
RomanceFollow dulu sebelum membaca ya.. Bagaimana rasanya mencari masalah dengan orang yang memiliki peran besar dalam masa depanmu?