Tentang Jodohku.... bagian VIII

203 5 0
                                    

Sudah satu bulan, gosib tentang penolakan lamaranku terhadap gus Elfaz mulai mereda, dan aku mulai memikirkan Iptu Bimantara, sudah satu bulan ini juga aku tidak mendapatkan kabar darinya, terakhir saat hari Minggu, akhir bulan lalu ketika keluarga Gus Elfaz datang ke rumahku.

Karena merasa cemas aku mulai menghubunginya terlebih dahulu, ternyata ponselnya tidak aktif dan tak dapat aku hubungi. Akhirnya aku telfon ibu Fitri untuk menanyakan kabarnya, ibu Fitri menyampaikan padaku kalau Bimantara baik-baik saja dan baru dipindah tugaskan ke Polda.

Ya mungkin saat ini dia masih sibuk dengan tugasnya, jadi belum sempat menghubungiku, apalagi jarak dari Polda dan tempat tinggal kami lebih jauh dari tempat tugas dia sebelumnya.

Satu bulan ini pun telah berlalu, ini memasuki bulan kedua dan aku masih belum mendapatkan kabar darinya, aku menepis segala cemasku agar aku tetap dapat fokus mengerjakan tanggung jawabku.

Setelah tugas mengajarku selesai, seperti biasa aku masuk ruang dosen di fakultas tempatku bekerja, aku duduk di kursiku mengoreksi tugas online ataupun offline yang dikerjakan mahasiswaku. Tiba-tiba   ku dengar tanya seorang teman padaku.

"Bu Nabila, pacar Bu Nabila yang polisi itu kok sudah nggak pernah kelihatan kesini ya?..." Tanya Bu Hilda salah-satunya teman sejawatku.

Aku tercengang mendengar pertanyaannya itu "Bukan pacar saya itu bu, kami hanya berteman" jawabku.

"Ooooo... Teman, pantas saja ya..." Sahut Bu Hilda.

"Kenapa memang Bu Hilda?" Tanya Bu Dewi.

"Suami saya dapat undangan pertunangan dia sama dokter gigi bu, kebetulan ibunya Iptu Bimantara itu kepala dinas kesehatan di tempat suami saya bekerja, jadi suami saya dapat undangan bu" jelas Bu Hilda.

"Ooooo... Anak pejabat to Bu..." Sahut Bu Dewi.

"Iya Bu, calon tunangan juga anak pejabat tinggi di Polda sana, makanya undangan pertunangannya saja di gedung mewah Bu..." Jelas Bu Hilda lagi.

"MasyaAllah kalau anak pejabat, pasti menikahnya sama anak pejabat juga ya Bu, meski terkadang anaknya orang biasa ngarep jadi menantu..." Kata Bu Dewi, sambil melirik ke arahku, seolah kata-katanya untuk menyindirku.

Kemudian ku lihat Bu Dewi melangkah mendekati bu.hilda  "Bu hilda, bener kan kata saya kemarin, pasti kualat, nolak anaknya kiayi besar, ngarep dilamar anaknya pejabat... Eeeeeh ternyata cuma di anggap teman... Makanya jangan sok cantik jadi orang ya Bu..." Lanjut Bu Dewi dengan suara lirih membisiki Bu Hilda sambil tersenyum geli seolah mencibirku.

Mungkin Bu Dewi berfikir aku tidak mendengar kata-kata lirihnya, namun aku sangat jelas mendengarnya, karena jarak tempat dudukku dengan bu hilda hanya sekitar tiga meter.

Ku ambil tas di mejaku, segera aku keluar dari tempat itu dengan berpamitan dan mengucapkan salam pada meraka.

Sebenarnya masih ada tiga jam mengajar yang harus aku selesaikan, namun hatiku terasa remuk redam, segera ku kirimkan pesan WhatsApp kepada dekan fakultasku, aku memohon ijin tidak dapat memberikan materi di jam berikutnya karena ada sebuah kepentingan.

Aku bergegas pulang, ku coba mengendalikan diri agar air mataku tidak menetes selama di perjalanan.

Begitu berkecamuk rasa di dadaku, mendengar kabar tentang pertunangan Iptu Bimantara.

Dua bulan dia tidak menghubungiku, ternyata saat ini dia akan bertunangan dengan anak pejabat tinggi di tempatnya bekerja.

Sesampainya di rumah, aku segera masuk kamarku, ibuku pun bergegas menghampiriku "aku sakit Bu, aku istirahat dulu" kataku padanya, berharap ibuku tak bertanya apapun padaku.

Sesak rasanya dadaku, cibiran teman di kantorku, berita tentang lptu Bimantara, semua mempengaruhi emosiku, tak terasa aku terisak tangis yang cukup keras, ku tengkurapkan kepalaku di bantal, agar tangis itu tak terdengar ibuku.

Setengah hari aku tidak keluar kamar, hingga adzan magrib terdengar, karena kamar mandiku ada di dalam ruangan itu, aku pun tak perlu keluar untuk mengambil air wudhu dan bertemu dengan ibuku. Entah kenapa aku masih ingin sendiri dan tak ingin ada yang menggangguku.

Hingga waktu isya'pun tiba, aku masih belum keluar kamarku. Dan tiba-tiba ibuku mengetuk pintu, berharap aku membukakan pintu untuknya, "Nabila.... Nabila....!!!" Panggilnya lembut.

Aku segera membuka pintu kamarku, dan kemudian memeluk erat wanita yang dengan sabar membesarkanku itu, tak terasa air mata ini pun menetes. "Katakan pada ibu ada apa??..." Tanya lembut ibuku, sembari menggiringku duduk di tempat tidur kamarku. Aku pun mengusap air mataku

"Aku sayang ibu" jawabku kemudian sambil memeluknya lagi.

"Ibu tau, mungkin karena ini kau menangis" kata ibuku dengan menunjukkan undangan Iptu Bimantara dengan drg. Popy Arumdyanti "Tadi pagi ibu Fitri mengirimkan ini, dan berharap kita bisa menghadirinya" jelas ibuku, "kamu tidak perlu datang, ibu bisa pergi bersama bude Nunik" tambah ibuku dengan mengelus-elus pundakku.

Ternyata undangan itu juga sudah sampai di rumahku, aku tak menyangka ibuku mengira aku nenangis dan bersedih karena kabar itu, iya mungkin karena ibu adalah orang yang paling memahamiku, jadi karena itulah beliau bisa membaca isi hati dan pikiranku.

"Ibu... Aku akan temani ibu pergi, kita hadiri undangan itu" Jawabku, "ibu aku lapar, buatkan aku nasi goreng ya!!..." Kataku manja, yang aku lakukan dengan sengaja untuk mengalihkan pembicaraan, karena rasanya sesak dadaku mendengarkan ibuku membahas tentang undangan dari iptu Bimantara.

Bersambung

TENTANG JODOHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang