Tentang Jodohku.... bagian VII

199 7 0
                                    

Pagi ini kulangkahkan kaki menuju kantor fakultas tarbiyah, semua beraktifitas dengan kesibukannya masing-masing, dan ku ucapkan salam sebelum masuk ruangan itu "Assalamualaikum!!""

"Waalaikum salam" jawab beberapa orang diantara mereka. "Wah... Selamat ya Bu.Nabila... kabarnya di lamar ya sama Gus Elfaz.." celetuk salah satu di antara mereka. "Wah setelah nikah, masih ngajar di sini atau di boyong Gus Elfaz ni?" Tanya salah seorang yang lainnya.

Aku hanya tersenyum, kuletakkan bebera kertas tugas mahasiswa di atas mejaku seraya berkata "Saya ada jam mengajar, saya pamit ke kelas dulu ya Bu!!" pamitku pada mereka semua.

Tidak kusangka, kabar lamaran itu sudah sampai ke telinga mereka, aku lihat beberapa mahasiswa pun bergosip tentang lamaran itu. Sungguh semua sangat mengganggu pikiranku.

Satu minggu sudah berlalu, pagi itu umi Zubaidah menelfonku, awalanya beliau menanyakan kabarku, namun setelah itu beliau menanyakan jawabanku tentang lamaran mereka padaku di malam itu. Takut, canggung, dan cemas rasanya saat beliau menelfonku, namun aku tetap harus menjawabnya dengan keyakinan hati setelah satu minggu penuh aku beristikharoh meminta petunjuk kepada Allah.

"Umi... setelah beristikharoh, keyakinan hati Nabila memutuskan, Nabila masih belum siap untuk menikah, Nabila minta maaf!!" Begitulah jawaban yang aku berikan kepada umi Zubaidah. Sungguh berat mengatakannya, namun seperti itulah keyakinan hatiku.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keputusan yang aku buat. mungkin Hilwa sahabat baikku akan kecewa padaku, begitu juga dengan keluarga Gus Elfaz, namun aku tidak ada pilihan lain selain mendengarkan kata hatiku, dan ibuku pun menyerahkan semua keputusan kepadaku.

Keesokan harinya aku melakukan aktivitas seperti biasanya, tepat di depan kantorku aku sudah mendengar beberapa dosen perempuan bergosip perihal penolakan lamaranku itu.

"MasyaAllah... Ternyata Bu Nabila menolak lamarannya ustadz Elfaz" kata salah seorang dosen perempuan yang ada di dalam ruang itu.

"Duh sok canting banget sih, kok nggak bersyukur banget ya, padalah ustadz Elfaz kan sudah kelihatan, orang sukses, dari keluarga terhormat, keturunan ulama' Besar lagi" jawab seorang yang lain.

"iya Bu... sebentar lagi dia pasti Kualat... Karena sudah menolak lamaran putra kiayi besar" sahut yang lainnya kesal.

"Sudah... pagi-pagi nggak usah ngomongin orang, ngomong yang manfaat aja" nasehat salah seorang dosen laki-laki yang ada di antara mereka, saat melihatku berdiri di pintu ruangan itu.

"Assalamualaikum!!" Sapaku kepada mereka semua, setelah ku ambil beberapa file di meja kerjaku segera aku keluar menuju kelas dimana aku akan menyampaikan mata kuliah.

Tidak ku sangka penolakan ku terhadap lamaran Gus Elfaz sangat mempengaruhi kondisi sosial di lingkungan kampus tempatku mengajar, bahkan diantara mereka kulihat begitu membenciku.

Tak lama aku keluar dari ruangan itu, ku lihat kerumunan mahasiswi pun membicarakanku "iiih... Bu Nabila sok kecantikan banget sih, masak nolak lamarannya Gus Elfaz, gak melek apa ya matanya, nolak cowok ganteng, suxes, alim lagi" kata salah satu diantara mereka seolah gregetan dengan sikapku, "eh...eh... Ada orangnya" sela salah seorang diantara mereka ketika melihatku berjalan di koridor melewati kerumunan itu.

Kucoba melupakan semua kata-kata yang aku dengar pagi ini, agar aku tetap dapat fokus dalam pekerjaanku.

"Assalamualaikum... Selamat pagi semua!!" Sapaku pada mahasiswaku saat aku baru sampai kelas, ku hidupkan leptopku seraya menyambungkan ke layar monitor karena hendak memulai materi perkuliahan.

"Bu, kenapa sih kok nolak lamarannya ustadz Elfaz?" Celetuk salah seorang diantara mereka membuyarkan konsentrasiku, "iya Bu, nggak sayang ya nolak lamarannya?" Tanya yang lainnya. "Eeeeeh... Bu Nabila kan udah punya pacar... Polisi yang kadang kesini itu, pantes nolak lamarannya ustadz Elfaz" jawab salah seorang yang lain, "Huuuuuuuuuuuu!!!!!" Seru semua mahasiswa di kelasku.

"Sudah, sudah!!" Jawabku dengan suara yang agak tinggi. "Semua itu tentang keyakinan sebuah hati" aku mencoba bijak menyikapi sikap mereka "dan kalian tau siapa yang menggerakkan hati kita?" Tanyaku kemudian kepada mereka " coba siapa yang menggerakkan hati kita?" Tanyaku kembali.

"Allah..." Jawab mereka semua.

"Jadi kenapa kalian harus risau dengan ketetapan Allah" tandasku kemudian.

Sudah dua Minggu ini aku dengan gosip tentang penolakan lamaranku terhadap Gus Elfaz, ada yang menghardik, ada yang mengumpat, bahkan ada yang menyumpahiku. Hingga suatu hari ketika jam mengajarku selesai dan aku hendak pulang, kudengar kerumunan ibu-ibu muda membicarakanku, sepertinya mereka adalah dosen-dosen pengajar dari fakultas lainnya.

" Yang mana sih orangnya bu Nabila itu?"

"Yang ngajar Ulumul Qur'an di fakultas tarbiyah itu Lo Bu"

"Ooooo... Ya lumayan cantik memang, anaknya siapa sih buk, kok beraninya ya nolak lamaran keluarga kiayi Hasan Al Mubarok"

"Aduuuh... buuuuk... cuma anaknya guru honorer, kalau almarhum bapaknya dulu pengawas MTS Negeri."

"MasyaAllah saya kira anaknya orang kaya, atau orang terhormat gitu bu."

"Iya sok banget nolak-nolak lamaran keluarga kiayi besar"

"Ya mungkin itu takdir Allah Bu, Allah nggak ridho, masak kerutan ulama besar seperti Gus Elfaz nikah sama orang biasa, rakyat jelata seperti dia" kata salah seorang diantara mereka, seolah begitu tidak menyukaiku.

Tak terasa air mataku menetes mendengar percakapan itu. Iya, siapalah aku ini, bukan siapa-siapa, hanya orang biasa, rakyat jelata, tapi apakah orang tuaku begitu hina, hingga harus mereka bahas dalam percakapan itu, sekalipun ayahku bukan orang kaya, ibuku hanya seorang guru honorer, namun bagiku mereka adalah orang yang paling mulia dalam hidupku.

Ya, aku tau aku tak bisa mengendalikan perasaan mereka untuk tidak menyukaiku, atau menghentikan pikiran mereka untuk tidak membicarakanku, hanya dengan doa aku memohon, semoga Allah kuatkan hatiku.

Bersambung

TENTANG JODOHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang