Tentang Jodohku... bagian IX

200 6 0
                                    


Aku tak ingin hari ini cepet berlalu, rasanya aku tak sanggup menghadapi hari esok, ketika aku harus mengantar ibuku ke pertunangan Iptu Bimantara.

Tapi hari pun terus berjalan, dan tibalah hari ini, hari dimana aku harus menghadiri pertunangan Iptu Bimantara dengan drg. Poppy Arumdyanti putri Brigjen.pol... begitulah nama yang aku baca dalam surat undangan pertunangan itu.

Jam tujuh malam aku harus menghadiri undangan pertunangan itu, setelah sholat magrib aku mulai bersiap. Ibu menghampiriku di kamar "Kamu di rumah aja ya, jaga rumah!" Pinta ibuku. Mungkin ibuku tau kalau sebenarnya berat sekali langkahku untuk menghadiri acara itu.

"Aku ingin ikut, aku mau jaga ibu." Jawabku dengan senyuman untuk meyakinkan ibuku kalau aku baik-baik saja.

Aku telah bersiap, kupakai gamis panjang dengan kerudung syar'i lebar berwarna merah jambu, sengaja aku pilih warna baju yang cerah agar dapat mempengaruhi suasana hatiku.

Tak lama kemudian, suara klakson mobil dari luar rumahku berbunyi, bude Nunik sudah datang menjemput kami, "kamu bener mau ikut Bila?...." Tanya bude Nunik ketika aku membuka pintu mobil dan duduk di bagian depan di samping sopirnya.

"Iya bude.... Memangnya kenapa?" Jawabku.

"Memangnya kamu kuat melihat pertunangan Bimantara?" Tanya bude nunik seolah menyimpan rasa ragu dengan sikapku yang memang hanya pura-pura tegar.

"Kan bude yang bilang, kenalan aja Bil.... Ta'aruf... Kalau jodoh Alhamdulillah... Berarti kan bukan jodoh bude..." Jawabku sambil melempar senyuman ke arah bude Nunik.

Seketika bude membalas senyumanku dan mengelus2 pundakku dari belakang "Semoga kamu dapat jodoh yang Sholeh dan suxes ya nak" kata budeku kemudian

"Aamiin" jawabku lirih mengamini doanya.

30 menit kemudian, kita sampai di depan gedung pertunangan Iptu Bimantara dan drg Poppy. Aku, ibu, dan bude berjalan bersama masuk kedalam, ternyata ku lihat sudah banyak tamu berdatangan, bude Nunik dan ibuku menghampiri ibu Fitri yang ada di depan di dekat panggung kecil tempat pasangan pertunangan.

Ucapan selamat pun bude dan ibu sampaikan kepada ibu Fitri, mereka saling berpelukan dan menanyakan kabar masing-masing, sementara aku hanya melihat kehangatan obrolan mereka dari belakang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Iptu Bimantara yang tak terlihat di sana.

Tiba-tiba ibu Fitri mendatangiku, pelukannya masih tetap hangat untukku, ciuman sayangnya pun masih tetap diberikannya padaku, ditambah dengan sebuah doa yang dibisikkan di telingaku "ibu doakan kamu mendapatkan pria yang Sholeh dan suxes ya nak".

"Aamiin..." Jawabku mengaminkan doanya.

Beberapa menit kemudian kulihat Iptu Bimantara yang hanya sendirian sibuk menyapa teman-temannya, aku tidak melihat dia bersama tunangannya, aku lihat kemudian dia pun menoleh ke arahku, segera aku menghampirinya, ingin aku menyapanya untuk mengucapkan selamat. Namun ketika aku sudah hampir mendekatinya tiba-tiba dia meninggalkanku, dia melangkah menuju teman-temannya yang lain, seolah dia tidak melihatku dan mengenalku.

Sikapnya membuat hatiku remuk redam, tak terasa air mataku menetes, aku segera berjalan cepat keluar gedung itu, mencari tempat sepi dan gelap untuk melepaskan kekalutanku, tak terasa keluar teriakan dan tangis sesenggukan dari mulutku. Aku benar-benar tak sanggup, dadaku terasa sesak, dan hatiku begitu hancur, apalagi ketika melihat sikap iptu Bimantara yang begitu mengacuhkanku.

Aku masih terus menangis sesenggukan, mungkin hingga dua puluh menit aku mulai bisa menghentikan tangisanku dan kembali mengontrol emosiku, aku coba menenangkan diri, untuk kembali masuk ke dalam gedung itu, tampa kusadari ternyata ibu dan bude Nunik ada di belakangku.

"Ayo pulang!!" Ajak bude Nunik.

Ibu memelukku dari samping dan menggiringku masuk ke dalam mobil.

Tak sepatah katapun keluar dari mulutku saat perjalanan pulang, aku hanya terdiam menatap keluar cendela mobil melihat gelapnya malam dan kelap-kelip lampu jalan. Hingga akhirnya aku bisa sampai rumah dengan penuh keselamatan.

Malam itu pun berlalu, ternyata Allah masih memberikan nikmat sehatnya padaku, aku terjaga kembali di subuh yang begitu sejuk, segera ku ambil air wudhu, dan bergegas melaksanakan sholat, kemudian kuhabiskan waktuku dengan murojaah hafalan Qur'anku sembari menunggu datangnya sinar matahari yang biasa menyapa dari sela-sela jendela kamarku.

Sudah jam tujuh, sebenarnya hari ini aku enggan datang ke kampus, tapi aku berfikir sangat tidak profesional jika hanya karena masalah pribadi aku meninggalkan tanggung jawab dan kewajibanku. Akhirnya aku putuskan untuk tetap berangkat bekerja.

Hari ini, entah apa yang akan aku dengar di kampusku, tetap gosip seputar diriku, atau... Entahlah, rasanya terlalu picik jika aku terus memikirkan hal tidak penting seperti itu.

Setiba di kampus, seperti biasa aku mulai masuk keruang dosen fakultas tarbiyah, aku ucapkan salam kepada teman-temanku yang sudah hadir terlebih dahulu. Ku hampiri meja kerjaku dan mulai mempersiapkan materi perkuliahan yang akan ku berikan pada mahasiswaku, tiba-tiba suara Bu Dewi mengejutkanku.

"Bu Nabila nggak di undang di pernikahannya Ustadz Elfaz?... Kok di sini nggak ada nama Bu Nabila ya?..." Kata Bu Dewi teman sejawatku, saat memilah-milah tumpukan undangan pernikahan.

MasyaAllah, Undangan pernikahan Gus Elfaz, ternyata beliau sudah akan menikah, jujur kata-kata bu.dewi mengejutkanku. "Alhamdulillah... akhirnya Gus Elfaz menemukan jodohnya ya Bu" jawabku dengan tersenyum kearah ibu Dewi.

"Bu... ini undangan dari Ustadz Elfaz" kata Bu Dewi kepada bu.hilda yang baru sampai meja kerjanya.

"Loooo... Sudah mau nikah to" jawab Bu Hilda sedikit terkejut.

"Iya bu, nikah sama anaknya kiyai Mansyur Arif, kiyai di pesantren anakku itu bu, pesantrennya besar" jelas Bu Dewi pada Bu Hilda yang saat itu sedang membaca kartu undangannya.

"Kalau anaknya kiyai menikahnya juga sama anak kiayi ya Bu...." Tambah Bu Dewi lagi.

"Bu Dewi....... Itu namanya sudah jodoh, ketetapan Allah, kalau jodoh Gus Elfaz dari Allah anaknya tukang becak ya pasti menikahnya dengan anak tukang becak Bu." Celetuk Pak Anwar yang saat itu sedang mengetik tugas mahasiswanya.

Aku tersenyum mendengarkan celetukan Pak Anwar tersebut, mungkin kata-kata Bu Dewi itu di tujukan untuk menyindirku, namun aku enggan memikirkannya, segera ku tepis rasa itu dan kembali konsentrasi menyiapkan materi perkuliahan mahasiswaku.

Karena merasa penasaran dengan undang pernikahan Gus Elfaz aku segera membuka akun Facebookku, aku berfikir pasti ada berita tentang pernikan Gus Elfaz karena aku berteman dengan Gus Elfaz dan beberapa keluarga serta temannya juga. Ku lihat di berandaku sudah banyak ucapan selamat untuk Gus Elfaz dengan Ning Zahra, ada juga foto yang mereka unggah saat proses ijab qobulnya, karena mungkin undangan yang ada pada teman-teman kerjaku saat ini adalah undangan resepsi pernikahannya.

Ning Zahra adalah putri salah satu kiayi besar yang pernah satu pesantren denganku waktu aku menempuh pendidikan ALIYAH dulu sekolah yang sederajat dengan SMA. Ning Zahra juga seorang gadis yang cantik, cerdas dan Sholihah. Aku bersyukur akhirnya Gus Elfaz menemukan tambatan hatinya.

Anehnya, hanya aku yang tidak mendapatkan undangan pernikahan dari Gus Elfaz, Hilwa pun tak mengabariku, mungkin mereka masih kecewa padaku. Aaaah... Aku tidak ingin su'udon, mungkin aku memang tidak di undang karena jumlah undangannya memang kurang.

Aku menghelan nafas panjang, melepas beban pikiranku, segera ku tutup leptopku dan kemudian masuk kelas untuk memberikan materi perkuliahan untuk mahasiswaku.

Bersambung

TENTANG JODOHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang