Adzan magrib berkumandang, aku masih ada di kampusku, untuk memberikan bimbingan skripsi pada mahasiswaku.Setelah sholat magrib, segera ku ambil tas dan leptop di meja kerjaku dan bergegas pulang.
Malam ini begitu dingin, mungkin akan segera turun hujan, karena kulihat cuaca sore tadi sudah mendung.
Suasana pun sangat sepi di jalanan kampus tempatku mengajar, biasanya aku lihat ada angkutan umum yang masih berlalu lalang meski hanya satu atau dua, namun malam ini sama sekali tidak aku jumpai.
Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju pertigaan lampu merah dekat kampusku, sekitar satu kilo meter jaraknya, aku berharap akan menemukan angkutan umum di sana.
Aku berjalan dengan santai karena memang aku merasa sangat lelah dengan setumpuk aktivitasku seharian ini.
Ku dengar "Tin... Tin..." Suara klakson mobil yang begitu keras di belakangku.
Aku segera menoleh kebelakang, kulihat seorang laki-laki keluar dari dalam mobil itu dan kemudian menghampiriku.
"Kenapa bukan namamu yang ada dalam undangan ini?" Tanya laki-laki itu padaku dengan menyodorkan sebuah undangan.
Kulihat undangan itu, undangan pernikahan Gus Elfaz dan Ning Zahra. Aku tersenyum dan tidak menjawab pertanyaannya. Entah dari mana laki-laki itu mendapat undangan Gus Elfaz dan Ning Zahra, aaaah... mungkin karena keduanya sama-sama orang penting dan saling mengenal.
"Kenapa?... Kenapa bukan nama kamu yang ada dalam undangan ini?" Tanyanya kembali.
"Karena aku tidak pernah menerima lamarannya." Jawabku seraya mengembalikan undangan itu ke tangannya, kemudian berbalik melanjutkan langkahku.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu tidak menerima lamarannya?" Tanya laki-laki itu kembali seraya mengikutiku. Laki-laki yang aku hadiri pertunangannya satu minggu yang lalu.
"Kenapa?.... Kenapa kamu tidak pernah bilang?" Tanyanya terus memancing emosiku.
"Kenapa?.... Kenapa aku harus bilang... " Tanyaku balik dengan menoleh ke arahnya "Kenapa aku harus bilang padamu?" Lanjutku "Apakah penting aku menjelaskan semuanya padamu, sementara kamu memutus komunikasi denganku, tidak mengangkat telfonku, memblokir nomerku" kataku dengan nada yang tinggi "Katakan padaku... Bagaimana caranya aku bisa mengatakan semuanya padamu?..." Tanyaku kemudian. Laki-laki itupun menatapku, entah apa yang dia pikirkan namun kulihat sejuta penyesalan terpancar di binar matanya.
Rasanya tak sanggup aku melihat tatapannya segera aku berbalik berjalan cepat untuk meninggalkannya.
"Nabila!!!....." Teriaknya memanggilku, aku terus berjalan tak menghiraukan panggilannya. Tiba-tiba gemuruh petir menyambar, hujan datang begitu derasnya, aku merasa bingung, kulihat halte bis yang sudah lama tak terpakai di seberang kanan jalan, segera aku berlari ke sana untuk berteduh menyelamatkan laptop dan tugas-tugas mahasiswa yang ada di dalam tas punggungku.
Aku duduk di kursi tua yang membujur panjang di halte itu, ku lihat Iptu Bimantara masih mengikutiku, dia menghampiriku, dia duduk kira-kira satu meter di sebelahku.
"Empat tahun aku menunggumu... empat tahun aku berusaha memantaskan diri bersanding denganmu.... Empat tahun aku belajar ilmu agama... Aku belajar mengaji...aku belajar bahasa Arab.... Hanya untuk bisa diterima di sisihmu...." Katanya dengan suara lirih dan memelas menarik simpatiku. "Setelah bertemu, kulihat kamu begitu sempurna.... Wajahmu... Kecerdasanmu... Budi bahasanya... Kepribadiamu.... Ahlaqmu...." Lanjutnya dengan suara yang masih sama. "Jujur... Aku terluka saat melihat keluarga Gus Elfaz ke rumahmu, membawa hantaran, dan begitu banyak rombongan orang, aku juga mendengar tentang obrolan mereka hendak melamarmu... Aku merasa hancur Nabila... aku berfikir, mungkin kamu tak akan pernah memilihku karena aku tak seagamis orang itu... hari itu bertepatan dengan turunnya TR ku di pindah tugaskan ke Polda, setelah dinas di sana aku berkenalan dengan salah satu putri atasanku, dia sangat menyukaiku, akhirnya kuputuskan untuk melamarnya, karena aku fikir tak ada lagi harapanku untuk bersamamu Nabila." Jelas pria itu.
Aku tidak menjawab penjelasannya, aku hanya terdiam mendengarkannya.
"Aku mencintaimu Nabila..." Lanjut pria ini menggetarkan hatiku, "Katakan sesuatu padaku Nabila!!... Katakan tentang perasaanmu padaku!!... Apa kamu menolak lamaran Elfaz karena mencintaiku??..." Tanyanya kemudian. Aku menoleh ke arahnya, dia menatapku, sungguh hatiku tak menentu, aku pun segera mengalihkan pandanganku.
"Maafkan aku... Aku tidak mencintaimu... Karena cinta ini hanya untuk orang yang nanti akan menghalalkanku" jawabku.
Aku segera berdiri untuk pergi dari tempat itu, meski aku tahu hujan yang turun masih belum berkurang. Sungguh aku tidak sanggup berada di dekatnya dan melihat tatapan matanya, apalagi aku tau dia sudah berjanji kepada wanita lain dan keluarganya untuk menikahi wanita itu.
"Jika sudah menikah, jadilah imam terbaik untuk istrimu!!" Pesanku padanya dengan tidak menoleh kearahnya. Tak terasa aku meneteskan air mata, aku bergegas berlari meninggalkannya. Aku tak memikirkan tas yang berisi laptop dan tugas-tugas mahasiswaku. Dan kemudian aku mendengar dia menjerit begitu keras di belakangku, entah apa yang dia rasakan saat ini, aku coba memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya saat sudah berada di kejauhan, dan aku lihat dia duduk tersungkur di tengah derasnya air hujan.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
TENTANG JODOHKU
General FictionIni adalah kisah ta'aruf seorang Perwira Polisi dengan seorang perempuan penghafal Al Qur'an, berawal dari gagalnya pertemuan, hingga pertemuan pertama di bandara, dan setelah itu ada pria lain yang hadir di antara ihtiar pencarian jodoh mereka.