Keesokan harinya Lita berangkat ke sekolah sembari mengayuh sepedanya. Ia terlambat sampai di sekolah karena harus memberi makan Snowla, hewan piaraannya yang baru. Kini Lita sedang berdiri dengan satu kaki di lapangan beserta dua tangan memegang telinga. Ia dihukum selama satu jam pelajaran.
"Sial sial," gumam Lita, seraya menyeimbangkan tubuhnya yang mulai bergoyang lelah.
Kringggg!!!!
Bel mulainya jam pelajaran kedua telah berbunyi. Akhirnya Lita bisa memghembuskan nafas lega dan dapat mengikuti kegiatan belajar di kelas. Saat ini adalah jamnya Bu Marjanti, guru bahasa yang terkenal keganasannya.
Lita sudah sampai di depan pintu kelasnya. Ia membenahi posisi tas di pundaknya.
Saat hendak mengetuk pintu, saat tangannya berjarak satu senti dari pintu, "Masuk!!" Bu Marjanti sudah membentak Lita. Ia tahu muridnya yang satu ini pasti datang terlambat.
Tak jadi mengetuk pintu, Lita kini membuka pintu perlahan, kemudian memasuki kelas dengan kepala menunduk dalam.
"Kemari kau!" Pinta Bu Marjanti, ingin mewawancarai Lita di depan kelas lebih dahulu.
"Kenapa kamu terlambat?" Tanya Bu Marjanti, Lita hanya menunduk diam. "kamu bisa jawab gak sih?!" Bu Marjanti sedikit membentak.
"Yah..., saya malas saja, Bu," gumam Lita.
"Apa?" Bu Marjanti mendekatkan telinganya pada Lita, tidak mendengar jawaban Lita dengan jelas.
"Saya hanya malas, Bu," ulang Lita.
"Oh...," Bu Marjanti mengangguk-anggkuk paham.
"Kamu sekarang begini ya, Ta, padahal dulu kelas 10 kamu bilang ingin jadi nomor satu. Tapi sekarang, kamu malah jadi pemalas. Kamu tahu kan kalau kamu baru menjadi nomor satu di matpel saya saja. Nilaimu di matpel lainnya masih jauh dari kata sempurna," beber Bu Marjanti, bercerita kenyataan yang dialami Lita, murid nomor satunya.
Bu Marjanti merupakan guru bahasa yang mengajar di kelas Lita sekaligus wali kelas Lita ketika masih menduduki kelas 10. Jadi, Bu Marjanti lebih mengetahui sikap Lita dan teman sekelasnya dibanding guru matpel lainnya.
"Besok jangan telat lagi, terutama pada jam pelajaran ibu!" Tegas Bu Marjanti, Lita mengangguk pelan.
"Sekarang kamu cepetan duduk!" Perintah Bu Marjanti, menunjuk ke arah bangku Lita, di sebelah Lisa.
Lita melangkah pelan dengan kepala menunduk dalam. Baru kali ini dia terlambat masuk sekolah. Meski bergelar murid yang sedikit bandel, Lita juga bergelar sebagai murid yang aktif oleh beberapa guru, termasuk Bu Marjanti sendiri. Namun, para guru tidak tahu alasan Lita sedikit mengalami perubahan sikap.
Lita segera duduk di bangkunya, meletakkan tasnya di bawah meja agar tempat duduknya lebih luas.
"Kenapa kamu telat, Ta? Kamu bergadang ya?" Tanya Lisa.
Lita hanya balas menggeleng pelan.
"Maafin aku ya dua hari yang lalu. Tanpa sadar aku menyuruhmu membuat lima puluh lampion tanpa membantumu sedikitpun," sesal Lisa, merasa bersalah sebab perbuatannya dua hari yang lalu.
"Gak pa-pa kok," balas Lita, mengusap kedua matanya.
Melihat Lita mengusap mata, "Kamu nangis, Ta?" Cemas Lisa.
Lita menggeleng pelan, "gak kok, hanya saja kakiku sedikit pegal karena berdiri 40 menit."
Lisa tersenyum kikuk, menggeleng pelan. Ia tahu kalau Lita itu anak yang bermental baja. Dia tidak akan jatuh jika hanya dimarahi oleh seorang guru.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Story from The Last Dragon (Kisah dari Naga Terakhir)
FantasiEntah dari mana, sekerlap cahaya jatuh dan mendarat di tengah kebun. Mengetahui peristiwa ganjil tersebut, Lita pergi memeriksa lokasi jatuh cahaya, ikut memasuki kebun yang rindang, yang tak jauh dari tempat semulanya merenung. Sejak ratusan tahun...