MUNAJAT

22 2 0
                                    

BERKATA DALAM HATI

Zendar. . . Iya itu nama panggilannya

Zendarian. . . Itu nama panjangnya, dia adalah anak tunggal dari bapak dan emaknya, mereka cerai saat usia Zen masih empat tahun, tahun di mana Zendar harus terpisah dari kehangatan keluarga broken home. Belas kasih jika melihat wajah Zen, bahkan tisu satu pak pun tak mampu membendung air mata jika mendengar kisah kasih Zen yang terurai bagai beras berserakan tersebar, ia hidup dengan pamanya ia menjadi pribadi gagah galak sedikit tak berakhlak, banyak ter cerita bahwa itu semua efek hancurnya keluarga Zen.

Usia genap lima belas tahun, Zendar bisa di katakan jauh dari masyarakat ia seorang penyendiri, menyepi sebab gusar. Berkata ia dalam hati, oh Tuhan, inikah duniawi. Zendar memang ceplas ceplos, suka jahil, tapi ia penurut jika dengan pamannya, pamannya yang sudah mulai menua oleh waktu itu tetap bersikeras tegap menyingsihkan lengan untuk Zen, ia tak tega ingin melihat paman kecewa oleh perilakunya, sedikit mulai sedikit dari tahap ke tahap ia rubah sikap buruknya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Satu tahun terlewat, paman Zen sudah menganggap Zen sebagai anaknya sendiri, sebab paman Zendar tak lagi punya anak setelah kejadian beberapa tahun lalu, lalu apa kabar dengan orang tua Zen ?, masih belum terjawab, Zen masih begitu penasaran dengan wajah bapak dan emaknya yang tega meninggalkan putra tunggalnya begitu saja.

Zen hidup dengan rasa penasaran, ia tetap tegar dengan nasib hidupnya, ingin bila ada kesempatan ia mencari bapak emaknya, tapi ia masih baru bersekolah, rasanya terlalu muda untuk berkelana, Zen seseorang yang murah senyum meski hatinya menjerit tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, ia sudah terbiasa tanpa bapak dan emaknya, tak repot-repot Zendar kerap melempar senyum pada semua orang.

Lambat laun Zendar sudah menjadi seorang yang baik, suka menyapa, bahkan ia juga menyapa kucing tiap pagi di depan pasar di warung pak Tomo, itu semua berkat didikan pamannya kecuali menyapa kucing di depan pasar. . . .

MEMUJA DALAM SEPI

Malam mulai terasa dingin, dingin yang begitu menusuk tulang, Zendar duduk di teras depan rumah, ia sedang menatap bintang, duduk dengan dengkul yang di rangkul dengan kedua tangannya, ia berdiam diri di luar menatap bintang yang menempel pada awan hitam pekat dan berkata.

Satu. . . iya satu. Dua, Tuhan tidak ada dua, tiga, tiga kali setiap setelah beribadah aku berdoa, empat, empat orang yang ku temui kemarin yang katanya masih ada kontak dengan bapak, lima, lima kali sehari tak pernah aku lupakan, enam, enam belas tahun aku berpijak di bumi ini, tujuh, tujuh hari ini aku bersendiri dan berkeluh kesah padamu wahai Illahi, delapan, delapan puluh genap usia pak Tomo pemilik warung depan pasar itu, sembilan, sembilan bulan aku ada di kandungannya tapi aku di tinggal begitu saja, sepuluh, sepuluh hari sudah aku menyepi berdoa, berdoa dan berdoa. Aku hitung satu sampai sepuluh tetap saja, ternyata Tuhan masih menyuruhku bersabar akan cobaan ini.

"Zen, , enggak tidur kamu nak, di luar begitu dingin, malam sudah larut, tak sebaiknya engkau merebahkan tubuhmu itu". Tanya paman pada Zendar

"Tak paman, malam adalah tempat di mana aku bercerita dengan dia tentang kisah hidupku"

"Baiklah nak, jangan kau tidur larut malam, tidak baik untuk kesehatanmu"

"Iya paman"

Zendar seorang Islam, dan setiap hari ia tak lupa untuk Shalat malam, ia selalu berdoa untuk bertemu dengan kedua orang tuanya, Zen hanya bisa menunggu, karena rencana tuhan lebih indah, ia bukan tipe orang mudah putus harapan dan mudah menyerah, Zen seorang yang tabah, sabar menghadapi semua kesahnya meski hidupnya penuh dengan lika-liku. Genap sembilan belas tahun, Zendar mendengar bapaknya berada di Kuala Lumpur Malaysia, bapaknya bekerja di sebuah kebun sawit, Zen terus menggali informasi tentang bapaknya, pernah iya meminta nomor telefon bapaknya tapi ia bingung , sebab Zen tak punya telefon genggam, ia harus pergi sejauh lima kilo meter untuk telefon, itu pun masih antre ketika sampai. Iya benar Zendar telefon menggunakan telefon umum di kota, sebab tak ada tetangganya yang punya telefon, kalaupun ada hanya pak RT itu pun aku malu untuk meminjam sebab anaknya begitu cantik molek, ia malu ketika melihat, Zendar terkenal buruk dalam kontak mata dengan gadis. . . .

Kepingan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang