Kesabaran Alina Si Hitam Manis

22 3 0
                                    

Pagi ini adalah hari pertama masuk sekolah, Alina sangat senang dan bersemangat. Sambil mengayuh sepedanya, Alina membunyikan bel sepedanya itu berulang-ulang dengan perasaan senang. Tahun ini ia duduk di bangku kelas enam SD. Satu tahun lagi ia akan duduk di bangku SMP dan menjadi seorang siswi SMP. Alina mempunyai keinginan besar untuk bisa masuk di SMP favorit impiannya, jadi ia bertekad akan semakin giat belajar.

Saat sampai di depan gerbang sekolah, Alina mulai masuk ke halaman parkir untuk memarkirkan sepedanya. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara menyapa, "Selamat pagi, Alina!". Alina pun menoleh ke arah suara itu. Ternyata Laras, teman sekelasnya. "Pagi, Laras!" balasnya dengan senyum manis.

"Wah, Alina kamu semakin manis saja setelah libur panjang semester lalu," puji Laras. "Ah, masa sih, Ras?" Alina melirik kulit lengannya yang gelap dan menghitam dengan wajah sendu dan muram, sedangkan Laras tersenyum kecil dan beranjak pergi.

Sebelum masuk ke dalam kelas, semua siswa SD Mekar Bakti beserta para guru berbaris memasuki lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Ketika kepala sekolah mulai memberikan sambutan, Risa yang berbaris di samping Alina melirik dan mencolek lengan Alina. "Na, sepertinya Laras, Lea, dan Ana sedang membicarakanmu di belakang. Dari tadi mereka melihat ke arahmu sambil tertawa-tawa," bisik Risa.

Alina langsung menoleh ke belakang. Ternyata benar ucapan Risa, di belakang Laras, Lea, dan Ana sedang membicarakan Alina dan langsung terdiam begitu Alina melihat mereka. Usai upacara, semua siswa berjalan menuju kelasnya masing-masing yang sudah ditentukan. Saat sampai di kelas, Alina ingin bertanya mengenai kejadian di lapangan itu. Tetapi tidak sempat, karena tak lama Bu Emi yang menjadi wali kelas mereka masuk.

Ketika Bu Emi sedang menulis jadwal pelajaran di papan tulis, Alina menoleh ke bangku Laras dan teman-temannya. Ternyata Laras, Lea, dan Ana masih saja berbincang-bincang dan sesekali tertawa kecil sambil melirik ke arah Alina. Alina pun merasa sedikit kesal dan terganggu oleh sikap mereka.

Ketika bel istirahat telah berdering 3 kali, semua murid menyambut gembira dan Bu Emi meninggalkan kelas untuk istirahat. Alina pun bergegas mendekati Laras yang sedang bersiap-siap untuk keluar kelas bersama teman-temannya. "Ras tunggu, aku ingin bertanya. Apa yang salah dengan aku? Mengapa sejak upacara sampai di kelas tadi kalian terus tertawa sambil melihatku," tanya Alina serius.

Pertanyaan Alina itu malah disambut tawa kencang oleh Laras, Lea, dan Ana. Setelah berbisik-bisik, Laras melontarkan pertanyaan pada Alina, "Benar nih, kamu ingin tahu alasannya?" ucap Laras bernada geli dan tertawa-tawa kecil. Alina mengangguk serius. "Begini Alina, kami membicarakan soal kulitmu. Setelah liburan, mengapa kulitmu semakin menghitam. Memangnya kamu selalu berjemur di pantai terus ya?" ucap Laras dengan nada ledekan.

Mendengar kata-kata Laras, wajah Alina memerah dan tak terasa air mata mengalir ke pipinya. Teman-teman yang tidak ikut mengejek Alina merasa iba kepadanya. Ternyata pujian Laras pagi tadi hanyalah sindiran saja. Risa yang merasa tidak terima melihat Alina diejek pun berkata dan menyuruh teman yang lain untuk berhenti mengejek. Lalu Risa mencoba menenangkan Alina dan menghiburnya. Untungnya hari itu sekolah pulang lebih awal, mungkin karena baru hari pertama. Alina pun langsung bergegas pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Alina mendapati ibunya yang tidak ada di dalam rumah. Alina bergegas mencari ibunya di ladang yang tak jauh dari rumahnya. Selama liburan kemarin, Alina selalu membantu ibunya di ladang untuk menanam sayuran dan memetik hasilnya, kemudian dibawa ke pasar. Kulit Alina memang sudah berwarna sawo matang kemudian ditambah panas matahari yang membakar kulitnya sampai gelap.

Ketika sampai di ladang, "Ibu" teriak Alina sambil berlari mendekati ibu. Melihat wajah putrinya yang sedih, ibu pun langsung berhenti dari kegiatannya dan menghampiri Alina. "Ada apa nak, Mengapa wajahmu sedih begitu?" tanya ibu. Alina menceritakan kejadian di sekolah kepada ibu. Mendengar cerita putrinya, ibu pun tersenyum lalu mengelus rambut putrinya itu, "Putri ibu jika semakin hitam, namun semakin manis," ucap ibu sambil tersenyum.

"Yang benar bu, ibu pasti hanya ingin menghiburku saja, aku malu bu, aku kesal teman-temanku mengejekku, keluh Alina. "Tak apa nak, manusia itu kan tidak dinilai dari warna kulitnya, wajahnya, ataupun pakaiannya, melainkan sikap dan prilakunya. Orang yang cantik, putih mulus kalau perangainya buruk, egois, judes, suka mengejek orang, apa tetap menarik?" kata ibu. Alina mengangguk dan memeluk tubuh ibunya. "Alina harus tetap semangat dan tidak boleh membalas perbuatan buruk orang lain, tetapi balaslah dengan perbuatan baik," pesan ibu. Alina pun mengangguk dan tersenyum.

Keesokan harinya, Alina masuk sekolah seperti biasa. Begitu kakinya melangkah masuk ke pintu kelas, ia langsung disambut dengan suara-suara bernada mengejek. Tetapi Alina mengabaikan suara itu dan tetap tersenyum. Saat bel masuk berdering, Pak Rudi guru matematika masuk ke dalam kelas dengan mengucapkan salam dan tak lama langsung membagikan soal tes yang harus dijawab oleh semua siswa di kelas.

Katanya sih untuk mengetes kemampuan berhitung yang sudah dipelajari di kelas sebelumnya. Semua murid bergegas mengeluarkan alat tulisnya untuk mulai menjawab soal. Tiba-tiba Laras panik, karena ia lupa membawa tempat pensilnya, ia sibuk memanggil temannya untuk meminjam pensil, tetapi tidak ada yang menghiraukannya dan fokus pada kertas soal yang dibagikan Pak Rudi. Kebetulan Alina duduk di belakang bangku Laras, melihat Laras yang kesusahan Alina pun menawarkan pensilnya kepada Laras, Laras langsung menerimanya dan merasa bersalah karena perlakuannya kepada Alina kemarin.

Usai semua siswa mengumpulkan lembar soal yang berisi jawaban di meja guru, Pak Rudi mengakhiri pelajarannya dan keluar kelas membawa tumpukan lembar kertas tersebut. Kemudian Alina berdiri dari duduknya dan ia berkata, "Teman-teman, ada yang tidak sempat aku jelaskan kemarin, mungkin selama liburan, banyak diantara kalian yang bersantai dan menghabiskan waktu ke tempat rekreasi. Aku sendiri membantu ibu di ladang dan pergi ke pasar untuk berjualan. Itulah penyebab warna kulitku semakin hitam, tetapi aku tetap senang karena bisa menghabiskan waktu liburanku untuk hal yang bermanfaat."

Mendengar ucapan Alina, seisi kelas pun terdiam, bahkan Laras pun tak berkata-kata lagi. Laras menyadari kesalahannya yang telah menggunjing Alina dan menyakiti perasaan Alina. Padahal, Alina tetap berbuat baik kepada Laras walaupun telah diejeknya kemarin. "Alina, aku salah telah menilaimu dari luar, kamu orang yang baik dan tidak pendendam, maafkan aku ya, Alina," ucap Laras bernada sedih. "Tidak apa-apa Laras, aku telah memaafkanmu. Lagi pula, bukankah manusia diciptakan Tuhan untuk saling memaafkan, dan tidak membeda-bedakan semua ciptaannya. Berbeda itu untuk saling melengkapi, bukan saling mencaci." Ucap Alina.

Alina kembali duduk di kursinya. Kata-kata ibu kemarin membuat Alina menjadi anak yang lebih kuat dan tidak membalas perbuatan buruk orang lain, melainkan membalasnya dengan kebaikan. "Terima kasih, Ibu, telah mengajariku arti kesabaran." Ucap Alina dalam hati. Ia senang dapat berteman lagi dengan teman-temannya.

Kepingan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang