"Just give me a reason."
🌠🌠🌠
"Kenapa ia tidak punya sama sekali alasan jelas ketika ingin berpisah?"
Hanya itu yang ada di kepalaku akhir-akhir ini. Setahun telah berlalu, melewati hari-hari tersulit dari hidupku yang telah lama aku tinggalkan. Hari dimana Jimin datang ke flatku, yang seharusnya itu adalah hari pernikahan kami akhirnya menjadi yang terakhir kami bisa bertemu.
Mulai dari hari itu aku menahan segala rasa kecewaku. Pergi dari kota Seoul yang kejam dan kembali pulang ke kampung halamanku di daerah Gwangju— meninggalkan semua pekerjaan tetapku disana. Aku memilih untuk kembali tinggal bersama dengan keluargaku, ayah ibuku menerimaku dengan suka cita karena mereka tahu aku butuh waktu untuk sembuh dari luka itu. Mereka tidak marah dengan Jimin, mereka hanya mengatakan; tak masalah jika kau tidak jadi menikah dengannya, kau dan dia hanya tidak berjodoh, itu saja. Jangan terlalu dipikirkan, pria bukan hanya dia saja. Kau masih pantas untuk bahagia.
Semua itu perkataan ayah dan ibu ketika aku telah tiba dengan koper di tanganku. Menatap mereka secara bergantian dengan rasa bersalah karena aku telah mempermalukan mereka berdua dihadapan semua keluarga besar. Namun, ketika aku hendak meminta maaf, mereka berdua melarangku untuk itu, mereka malah yang lebih dulu meminta maaf telah salah karena tak pandai menyeleksi pria yang aku bawa pulang.
"Seharusnya ayah dan ibumu waktu itu tidak luluh dengan sikap baiknya, seharusnya ayah lebih tegas dengannya agar anak gadis ayah satu-satunya tidak terluka, seharusnya—" yang langsung tidak bisa diteruskan, ayah langsung memelukku, membelai rambutku sama seperti ketika aku masih kecil, pelukan seorang ayah yang membuatku semakin percaya bahwa di dunia ini lelaki yang tidak akan menyakitiku hanyalah seorang ayah.
Hatiku langsung kembali rapuh. Demi menjaga anak gadisnya satu-satunya agar tak terluka lagi, mereka berdua menyalahkan dirinya sendiri. Padahal jelas, disini, aku yang salah telah membawa Jimin pulang bersamaku— berkenalan dan melamarku di depan kedua orang tuaku.
Dan semenjak hari itu, Jimin tidak pernah menghubungiku lagi. Akupun juga begitu. Aku memblokir segala tentangnya, nomor teleponnya dan semua sosial medianya, begitu pula dengan foto prewedding kami, aku sudah menghapusnya tanpa ada yang aku simpan lagi.
4 tahun berlalu sudah aku gunakan untuk hal yang sia-sia. Menjaga jodoh orang dengan sebaik mungkin, namun dibalas dengan hal seperti ini. Aku dicampakkan dengan seenaknya sendiri tanpa tahu alasan pastinya mengapa seperti ini.
"Nak? Boleh ibu masuk?" Ibu mengetuk pintuku dengan pelan, lalu aku membukakan pintu dan mempersilahkan ibu untuk masuk ke dalam kamarku.
"Ada apa, bu?"
Ibu tersenyum, membelai rambutku dengan lembut, "sejauh ini bagaimana? Sudah merasa baikan?"
Aku lalu menggenggam tangan yang mulai keriput itu, membalas dengan senyuman, "tentu, ibu. Aku sudah sangat baik-baik saja sekarang, memakan masakan ibu, menemani ayah pergi memancing, bersepeda dengan kalian setiap sore, itu cukup sekali membuatku bahagia, ibu—" aku sedang tidak berbohong, aku memang bahagia, aku menikmati semua yang ada di rumah ini, aku merasa aku akan baik-baik saja jika terus seperti ini, tidak menikahpun juga tidak masalah.
"Syukurlah—" ibu lalu mengeluarkan satu amplop dari saku coach panjangnya, "sudah bertemu dengan laki-laki tampan disini? Kebetulan, masih banyak yang melajang. Kau mau ibu kenalkan yang paling bersinar di Gwangju, tidak?"
Aku lalu tertawa, ibuku itu memang masih sangat menginginkan aku untuk berkenalan dengan lelaki lain lagi, "tidak sekarang, ibu. Aku masih belum siap," kataku yang lalu tersadar dengan amplop yang masih dipegang ibu, "itu apa? Surat dari siapa?" tanyaku penasaran.
Lalu ibu memberikannya padaku, "bacalah, ibu rasa sudah saatnya kau tahu alasan yang sebenarnya."
"Tentang Jimin?"
Ibu hanya mengangguk tanpa mau menjelaskan detail isi di dalam suratnya, "seminggu sebelum kalian berpisah, sebenarnya Jimin datang kesini dan memberikan ibu surat ini. Ia meminta maaf, menangis dan menekuk lututnya di depan ayah dan ibu karena sangat bersalah. Memohon agar ayah dan juga ibu jangan memberitahumu lebih dulu karena ia ingin menjelaskannya sendiri dengan tulisan yang ada di surat itu—" ibu menghela nafasnya panjang, "awalnya ibu dan ayah sangat marah, namun, setelah ia menjelaskan alasannya, ibu paham dan membiarkannya untuk pergi."
Hatiku langsung berdebar dengan kencang. Aku membuka hati-hati amplopnya, disitu ada selembar surat yang ditulis tangan yang aku sendiri sangat mengenali tulisan rapi itu.
"Ibu..." aku pun menatap ibu dengan mata yang sangat berkaca-kaca.
Ibu mengelus pipiku, "bacalah, nak. Ibu akan keluar dulu dari sini, jika ada apa-apa setelahnya, panggil ibu ya?" dan lalu ibu benar-benar berjalan keluar dari kamarku, meninggalkan aku dengan rasa penasaranku yang menggebu-gebu.
Ya, aku siap dengan apa yang akan aku baca.
Baik maupun buruk, aku akan terima semuanya. Karena, hatiku sudah cukup membaikkan sekarang? Tidak lagi sama seperti beberapa bulan yang lalu, saat aku masih sering menangis sendirian di dalam kamar.
Jimin, apapun yang kau tulis, aku akan tetap menerima dengan ikhlas semua alasan itu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ I don't love you.
Fanfiction[COMPLETED] [SHORT STORY] [Park Jimin Version] Terima kasih pernah menjadi sebuah pelajaran hidup meskipun enggan untuk aku ulang kembali. Karena seharusnya tanpamu- aku tetap akan berjalan lurus kedepan, malas menoleh kebelakang lagi karena tahu; k...