"empty."
🌠🌠🌠
Jika kau jadi aku, bagaimana kau menghadapinya jika hari-hari yang menyakitkan ini menjadi harimu? Di setiap malam kau akan kesulitan untuk memejamkan mata, bahkan untuk menelan makanan pun kau akan terasa sangat sulit.
Bumi ku terasa seperti berhenti berputar. Matahari terasa seperti berhenti terbakar. Aku seperti ditinggalkan dengan langit kosong, selalu menangis seorang diri, seakan aku hidup hanya untuk melihat punggung yang meninggalkanku.
Setelah mengetahui semuanya. Tentang semua kebohongannya. Semua yang ia lakukan di belakangku. Aku merasa seperti, "untuk apa aku menyia-nyiakan waktuku selama ini untuk orang yang sama sekali tidak ada— untuk orang yang tidak akan melihatku kembali?"
Aku tertawa. Menertawakan semua kebodohanku. Suara lembutnya dulu kembali mengisi indera pendengaranku persis seperti lagu cinta.
"Jangan pernah pergi—" pintaku, hanya untuk memastikan perasaannya.
"Ya, tak akan," jawabnya kala itu, "aku tak akan pernah pergi. Jangan khawatir, aku akan ada disampingmu untuk waktu yang lama," lanjutnya.
Ya. Benar. Waktu yang kami miliki cukup lama, namun bukan selamanya. Sebenarnya, aku menyesal telah membuang waktuku, tapi kini semua sudah terlanjur terjadi. Aku tak akan pernah bisa memutar kembali waktuku. Tak akan pernah bisa. Aku hanya manusia biasa, yang mau tidak mau harus menerima apapun yang dunia berikan untukku— meskipun dengan cara yang kejam sekaligus.
Aku berusaha selalu percaya dengan sepenuh hati, namun ia hanya dengan separuh hati— menyedihkannya lagi, ia mengatakannya sembari jatuh cinta dengan lain hati.
Aku lupa, sangat lupa bahwa kata hanyalah sebuah kata. Sebatas huruf-huruf acak yang bisa semua orang katakan dengan mudah jika tidak dilakukan dengan tindakan, maka sudah jelas semua itu tidak akan pernah ada artinya lagi.
Sudah beberapa hari ini, aku kehilangan tenagaku, fokusku terganggu. Aku di depan rekan-rekan kerjaku terlihat begitu bodoh, tersenyum seakan duniaku sedang sangat baik, menyapa semua orang yang aku kenali dan mengatakan agar harinya selalu baik. Aku, dimata mereka selalu jadi wanita yang cukup ceria; padahal bohong, semua yang aku tunjukan di publik itu rekayasa saja hanya untuk menutupi kelemahanku. Aku gagal dalam percintaan, gagal dalam pernikahan, gagal juga dalam pertemanan. Setidaknya, aku berusaha untuk tidak gagal lagi untuk pekerjaan. Aku berusaha mati-matian untuk bangkit— namun, jujur, itu sangat sulit karena aku selalu melangkah dengan bayangan masa lalu.
Menjelang hari pernikahannya. Aku memandangi kembali undangan yang wanita jahat itu berikan padaku. Membandingkan dengan undangan milikku yang tercecer di kamar karena terlalu banyak yang harus dibatalkan untuk dikirimkan. Melihat kedua undangan yang cukup berbeda itu, aku tidak menangis. Aku hanya tertawa sangat kencang— sepertinya aku nyaris gila karena selalu tertawa sendirian dan kemudian menangis karena hatiku sangat kosong.
Sudah beberapa hari ini ponselku selalu berdering dengan nyaring. Aku tentu saja mengabaikannya karena panggilannya dengan nomor asing. Mengirimiku pesan setelahnya dan memintaku untuk mengangkat panggilannya atau paling tidak membalas pesannya. Aku jelas diam saja karena aku sangat tahu itu pasti dari Park Jimin— yang jika diangkat, aku yakin ia hanya mengatakan jika ia bersalah, meminta maaf dan memintaku jangan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ I don't love you.
Fanfiction[COMPLETED] [SHORT STORY] [Park Jimin Version] Terima kasih pernah menjadi sebuah pelajaran hidup meskipun enggan untuk aku ulang kembali. Karena seharusnya tanpamu- aku tetap akan berjalan lurus kedepan, malas menoleh kebelakang lagi karena tahu; k...