[7]

3.5K 522 200
                                    


"The romance is over."

🌠🌠🌠


   Katanya, waktu yang akan menjawab semuanya? Tentang semua rasa sakit yang akan dibawanya pergi, tentang kesedihan yang terus-menerus menyerangku tanpa henti.

Namun, ini apa? Aku semakin terpuruk. Aku semakin merasa tidak baik-baik saja. Obsesi yang ia tuduh padaku membuatku semakin tersiksa. Aku tidak seperti itu, Jimin. Aku hanya— ah, sialan, memangnya aku salah jika menjaga apa yang membuatku bahagia selama 4 tahun ini?

Jimin— tolong, mengertilah, kita bersama selama 4 tahun, bukan 3 atau 5 bulan. Kita berkencan bukan seperti anak remaja, kau tahu juga umurku sudah tidak muda lagi. Memang benar aku yang mengajakmu berkencan lebih dulu, memang benar aku yang memintamu segera menikahiku. Namun, jika kau tidak mau pun juga tidak apa. Mungkin aku hanya akan seperti ini— patah hati sejak dulu tapi tak sedalam ini, menemukan penggantimu pun akan lebih cepat daripada saat ini.

Persetan dengan semuanya. Malam ini aku kacau lagi. Kembali ke kota kejam ini, menemukan pekerjaan seadanya, kembali menjalani hari-hari biasa dengan perasaan yang kosong.

Malam ini, aku duduk di depan minimarket dekat flatku, meneguk sekaleng sodaku, memakan ramyun instan yang sudah aku seduh. Ini sudah bulan ketiga setelah aku membaca surat itu, selalu merasa hampa ketika mengingatnya kembali, tulisan itu begitu kejam untukku.

Selama itu pula, Jimin ataupun aku tidak pernah bertemu lagi. Semua hal tentangnya sudah aku hapus dari lama. Nomornya belum juga aku buka blokirnya sampai sekarang. Ia juga terlihat biasa saja tanpa aku, hah— aku terlihat begitu murah sekarang karena memikirkan orang yang bahkan sama sekali tak mengingatku sama sekali.

Dan lalu, ponselku tiba-tiba berdering. Aku segera mengangkat telepon dari sahabatku— Jeon Mirae. Suaranya tidak seperti biasa, suaranya kacau, aku khawatir sekali rasanya. Semenjak aku dan Jimin putus, aku memang tidak pernah lagi mengetahui kabarnya.

"H-hei, k-kau dimana?"

"Tenang. Aku tidak akan hilang lagi. Aku baik-baik saja."

"Bukan itu bodoh! Sekarang, kau dimana?!"

"Hei, hei, santai saja. Sudah lama tidak bertemu, kau rindu padaku ya?"

"KAU DIMANA BODOH?! JANGAN MENGALIHKAN PEMBICARAAN!"

Aku lalu terkekeh, rasanya rindu sekali mendengar suara cemprengnya yang selalu bernada tinggi itu, "aku di depan minimarket dekat flatku. Kena—"

"JANGAN PERGI DULU. SEPULUH MENIT LAGI AKU SAMPAI."

"hei, kenapa terburu-bu—"

Pip.pip.

Persis seperti biasanya. Wanita licik satu itu akan selalu menutup panggilannya sepihak dengan seenak hatinya sendiri. Yang bisa sesuka hati datang dan pergi tanpa diminta. Ya, menyebalkan seperti itu, ia tetaplah sahabatku.

Dan benar, tidak ada sepuluh menit, Jeon Mirae telah sampai, keluar dari mobil mewahnya dan berlari menghampiriku— memelukku dengan erat seakan kami sudah tidak pernah bertemu lama.

"Hei, kenapa kau menangis, sih? Kau baru saja mabuk-mabukan lagi ya di club malam itu?!"

Mirae menggeleng, melepas pelukannya, menghapus air matanya dengan kasar, "tidak. Aku sudah tidak bisa mabuk-mabukan lagi sekarang."

"Oh? Kau sudah bertobat?" aku masih saja menanggapinya dengan santai.

"Ck, kenapa kau masih saja bodoh sih?!" Mirae mulai memakiku, entah kenapa malam ini ia begitu emosional kepadaku, "a-aku seorang ibu sekarang. Aku sudah tidak bisa minum-minum lagi. Aku— hikss—" ia sekarang menangis, aku segera menenangkannya. Membawanya duduk di kursi sebelahku, berusaha agar tetap tenang padahal aku sangat penasaran kenapa ia bisa dengan mudah menjadi seorang ibu? Tahu hamil saja tidak, apalagi berita pernikahan.

✔️ I don't love you.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang